FILSAFAT ANALITIKA BAHASA
Makalah
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah
FALSAFAH LUGHOWIYAH

Oleh
Dewi Shobichatur Rohmah ( DO2212005)
Dosen Pengampu:
Dr. H. M. Yunus Abu Bakar, M.Ag
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA
FAKULTAS TARBIYAH DAN
KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat ALLAH SWT, Karena dengan rahmat
taufik serta hidayah-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah ini dengan
baik dan lancar. Dan semoga sholawat serta salam tetap tercurahkan pada
Rasulullah Muhammad SAW, di dalam proses belajar mengajar Mahasiswa UIN Sunan
Ampel Surabaya dituntut aktif dan cerdas dalam setiap mata pelajaran yang
diberikan, untuk itu tidak hanya dalam proses belajar mengajar secara tatap
muka yang diberikan melainkan pemberian tugas pembuatan makalah. Dengan selesainya
makalah ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
• Dr. H. M. Yunus Abu Bakar, M.Ag sebagai
dosen pengampu
• Bapak/Ibu dosen Fakultas Tarbiyah.
• Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah ini.
Kritik dan
saran tetap kami harapkan untuk membangun demi penyempurnaan makalah-makalah
penulis berikutnya dan semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah
pengetahuan kita khususnya bagi penulis maupun pembaca.
Surabaya, 11 Juni 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................. ii
BAB I:PENDAHULUAN.............................................................................. 1
A. Latar Belakang............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah....................................................................... 2
C. Tujuan Pembahasan..................................................................... 2
BAB II: PEMBAHASAN.............................................................................. 3
A. Pengertian Filsafat Bahasa (Analitik) dan Perkembangannya.... 3
B. Filsafat Sebagai Analisis Bahasa................................................. 6
C. Atomisme Logis
Betran Russel................................................... 9
D. Atomisme Logis
Wittgenstein..................................................... 12
1. Pemikiran
Filsafat Wittgenstein Periode II.............. 13
2. Permainan
Bahasa (language games)..................................... 14
3. Kritik
terhadap Filsafat Ludwig Wittgenstein....................... 18
BAB III: PENUTUP...................................................................................... 20
A. Kesimpulan.................................................................................. 20
B. Saran ........................................................................................... 20
DAFDAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 21
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Memasuki suatu medan yang luas tiada
bertepi, tiada rambu-rambu petunjuk jelas yang dapat menuntun ke jalan keluar
yang paling tepat, sehingga semuanya menjadi serba misteri dan penuh problema
itulah gambaran belajar filsafat, sepertinya perkembangan terakhir dari
filsafat ilmu tersebut adalah sampainya filosof pada penelitian tentang bahasa
sebagai refleksi dari filsafatnya.
Konsep tentang hidup dan dunia menjadi awal kemunculan filsafat.[1]Para
filosof dunia kebanyakan beranggapan bahwa yang satu haruslah sebagai substansi
material. Bermula dari anggapan tentang asal segala sesuatu, Thales (585 SM)
yang diberi julukan sebagai “Bapak Filsafat” beranggapan bahwa segala sesuatu
berasal dari air. Anaximinisme beranggapan bahwa substansi itu adalah udara,
sedang Heraklitos menganggapnya api, yang akan melahirkan intelegensia, dan
jika ditinjau dari segi spritualnya api tidak lain adalah logos. Pytagoras
(535-515 SM) dengan argumentasi deduktif matematikanya yang bercorak mistis
percaya bahwa bilanganlah yang berperan sebagai pemersatu aneka ragam dalam suasana
kosmos. Parmedines (450 SM), doktrinnya telah berpengaruh terhadap Plato.
Sampai pada lahirnya teori atomis oleh Leucippus dan Demokraritus. Sampai pada
Socrates, Plato, dan Aristoteles. Pada abad ke XVIII dan awal abad ke XX
terdapat dua aliran besar yang mendominasi pemikiran filsafat yaitu filsafat
idealisme dan filsafat empirisme. Idealisme berkembang pesat dalam tradisi
filsafat Jerman sedangkan empirisme berkembang di Inggris. Aliran filsafat
tersebut berkembang terus menerus sampai pada abad ke XX ditandai dengan
kemunculan filsafat bahasa yang dipelopori oleh filosof-filosof kontemporer
yang menggunakan analisis bahasa melalui gejala-gejala yang nampak.
Melihat realita seperti itu bahasa adalah alat yang paling penting dari
seorang filosof serta perantara untuk menemukan ekspresi. Oleh karena itu ia
sensitif terhadap kekaburan serta cacat-cacatnya dan merasa simpati untuk
menjelaskan dan memperbaikinya. Kebanyakan orang menganggap bahasa itu satu hal
yang wajar, seperti udara yang kita isap, tetapi pada waktu sekarang, banyak
ahli termasuk di dalamnya filosof-filosof yang memakai “metode logical
analitik” melihat bahwa penyelidikan tentang arti serta prinsip-prinsip dan
aturan-aturan bahasa merupakan problema yang pokok dalam filsafat.[2]
Hubungan antara bahasa dengan masalah filsafat telah lama menjadi perhatian
para filosof bahkan sejak zaman Yunani. Para filosof mengetahui bahwa berbagai
macam problema filsafat dapat dijelaskan melalui suatu analisis bahasa. Sebagai
contoh: problema filsafat yang menyangkut pertanyaan, keadilan, kebaikan,
kebenaran, kewajiban, hakekat ada (Metafisika) dan pertanyaan-pertanyaan
fundamental lainnya dapat dijelaskan dengan menggunakan metode analisis bahasa.
Tradisi inilah oleh para ahli sejarah filsafat disebut sebagai “Filsafat
Analitik” yang berkembang di Eropa terutama di Inggris abad XX. Oleh karena itu
di dalam filsafat bahasa ini kita membahas tentang Filsafat Analitik.
B.
Rumusan Masalah
1.
Pengertian filsafat bahasa analitik dan perkembangannya?
2. Siapa
tokoh-tokoh filsafat analitik?
3. Apa saja
aliran-aliran analitik bahasa?
C.
Tujuan
Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memaparkan kepada pembaca tentang
filsafat analitika bahasa dengan demikian para pembaca akan mampu mengaplikasikan nilai-nilai yang termuat
dalam kebahasaan yang telah kami paparkan. Selain itu makalah ini juga
bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Bahasa.
BAB II
FILSAFAT ANALITIKA BAHASA
FILSAFAT ANALITIKA BAHASA
A. Pengertian Filsafat Bahasa
(Analitik) dan Perkembangannya
Para filosof sadar bahwa dalam kenyataannya banyak persoalan-persoalan
filsafat, konsep-konsep filosofis akan menjadi jelas dengan menggunakan
analisis bahasa. Tokoh-tokoh filsafat analitika bahasa hadir dengan terapi
analitika bahasanya untuk mengatasi kelemahan, kekaburan, kekacauan yang selama
ini ada dalam berbagai macam konsep filosofis.
Secara etimologi kata analitik berarti investigative, logis, mendalam,
sistematis, tajam dan tersusun.[3]Menurut
Rudolph Carnap, filsafat analitik adalah pengungkapan secara sistematik tentang
syntax logis (struktur gramatikal dan aturan-aturannya) dari
konsep-konsep dan bahasa khususnya bahasa ilmu yang semata-mata formal.[4]
Berbeda dengan Rudolph Carnap, Roger Jones menjelaskan arti filsafat
analitik bahwa baginya tindak menganalisis berarti tindak memecah sesuatu ke
dalam bagian-bagiannya. Tepat bahwa itulah yang dilakukan oleh para filosof
analitik[5]
Dijelaskan pula di dalam kamus populer filsafat bahwa filsafat analitik
adalah aliran dalam filsafat yang
berpangkal pada lingkaran Wina. Filsafat analitik menolak setiap bentuk
filsafat yang berbau metafisik. Juga ingin menyerupai ilmu-ilmu alam yang
empirik, sehingga kriteria yang berlaku dalam ilmu eksakta juga harus dapat
diterapkan pada filsafat (misalnya harus dapat dibuktikan dengan nyata,
istilah-istilah yang dipakai harus berarti tunggal, jadi menolak kemungkinan adanya
analogi).[6]
Filsafat analitik adalah suatu gerakan filosof Abad ke 20, khususnya di
Inggris dan Amerika Serikat yang memusatkan perhatiannya pada bahasa dan
mencoba menganalisa pernyataan-pernyataan (konsep-konsep, ungkapan-ungkapan
kebahasaan, atau bentuk-bentuk yang logis) supaya menemukan bentuk-bentuk yang
paling logis dan singkat yang cocok dengan fakta-fakta atau makna-makna yang
disajikan. Yang pokok bagi filsafat analitik adalah pembentukan definisi baik
yang linguistik atau nonlinguistik nyata atau yang konstektual.[7]
Filsafat analitik sendiri, secara umum, hendak mengklarifikasi makna dari
penyataan dan konsep dengan menggunakan analisis bahasa.Bilamana dikaji
perkembangan filsafat setidaknya terdapat empat fase perkembangan pemikiran
filsafat, sejak munculnya pemikiran yang pertama sampai dewasa ini, yang
menghiasi panggung sejarah umat manusia.
1.
Kosmosentris yaitu fase pemikiran
filsafat yang meletakkan alam sebagai objek pemikiran dan wacana filsafat,
yaitu yang terjadi pada zaman kuno.
2.
Teosentris yaitu fase pemikiran
filsafat yang meletakkan Tuhan sebagai pusat pembahasan filsafat, yang
berkembang pada zaman abad pertengahan.
3.
Antroposentris yaitu fase pemikiran
filsafat yang meletakkan manusia sebagai objek wacana filsafat, hal ini terjadi
dan berkembang pada zaman modern.
4.
Logosentris yaitu fase perkembangan
pemikiran filsafat yang meletakkan bahasa sebagai pusat perhatian pemikiran
filsafat dan hal ini berkembang setelah abad modern sampai sekarang. Fase
perkembangan terakhir ini ditandai dengan aksentuasi filosof pada bahasa yang
disadarinya bahwa bahasa merupakan wahana pengungkapan peradaban manusia yang
sangat kompleks itu.[8]
Mengenai filsafat analitika bahasa,pada dasarnya perkembangan filsafat ini
meliputi tiga aliran pokok yaitu atomisme logis, positivisme logis, dan
filsafat bahasa biasa..
Perhatian filsafat terhadap bahasa sebenarnya telah berlangsung lama,
bahkan sejak zaman Prasokrates, yaitu ketika Herakleitos membahas tentang
hakikat segala sesuatu termasuk alam semesta. Bahkan Aristoteles menyebutnya
sebagai “para fisiologis kuno” atau ‘hoi arkhaioi physiologoi’. Seluruh
minat herakleitos terpusatkan pada dunia fenomenal. Ia tidak setuju bahwa di
atas dunia fenomenal ini, terdapat ‘dunia menjadi’ namun ada dunia yang lebih
tinggi, dunia idea, dunia kekal yang berisi ‘ada’ yang murni. Meskipun begitu
ia tidak puas hanya dengan fakta perubahan saja, ia mencari prinsip perubahan. Menurut
Herakleitos, prinsip perubahan ini tidak dapat ditemukan dalam benda material.
Petunjuk ke arah tafsiran yang tepat terhadap tata kosmis bukanlah dunia
material melainkan dunia manusiawi, dan dalam dunia manusiawi ini kemampuan
bicara menduduki tempat yang sentral. Dalam pengertian inilah maka medium
Herakleitos bahwa “kata” (logos) bukan semata-mata gejala antropologi. Kata
tidak hanya mengandung kebenaran universal. Bahkan Herakleitos mengatakan
“jangan dengar aku”, “dengarlah pada sang kata dan akuilah bahwa semua benda
itu satu”. Demikian sehingga pemikiran Yunani awal bergeser dari filsafat alam
kepada filsafat bahasa yang diletakkan sebagai objek kajian filsafat..[9]
Filsafat bahasa mulai berkembang pada abad ke XX dengan telaah analitik
filosofi Wittgenstein tentang bahasa. Noam Chomskylah yang pertama-tama
mengangkat bahasa sebagai disiplin linguistik. Grice dan Quinelah yang
mengangkat meaning sebagai intensionalitas si pembicara dan meaning dalam
konteks kejadiannya. Davidson lebih lanjut mengetengahkan tentang struktur
semantik, untuk memahami bahasa, termasuk unsur-unsurnya dan mengembangkan
tentang interpretasi yang dapat berbeda antara si pembicara dan yang
dibicarakan. Frege lebih lanjut mengembangkan konsep tentang referensi.
Ekspresi bahasa bukan hanya representasi of mine, tetapi juga mengandung
referensi, yaitu hal-hal yang relevan dengan pernyataan yang ditampilkan.[10]
Filsafat abad modern memberikan dasar-dasar yang kokoh terhadap timbulnya
filsafat analitika bahasa. Peranan rasio, indra, dan intuisi manusia sangat
menentukan dalam pengenalan pengetahuan manusia. Oleh karena itu aliran
rasionalisme yang menekankan otoritas akal, aliran empirisme yang menekankan
peranan pengalaman indra dalam pengenalan pengetahuan manusia serta aliran
imaterialisme dan kritisme Immanuel Kant menjadi sangat penting sekali
pengaruhnya terhadap tumbuhnya filsafat analitika bahasa terutama dalam
pengungkapan realitas segala sesuatu melalui ungkapan bahasa.[11]
B.
Filsafat
Sebagai Analisis Bahasa
Bahasa adalah alat yang paling utama bagi seorang filsuf serta merupakan
media untuk analisis dan refleksi. Oleh karena itu bahasa sangat sensitif
terhadap kekaburan serta kelemahan-kelemahan lainnya, sehingga banyak filsuf
menaruh perhatian untuk menyempurnakannya. Hal ini terutama dengan timbulnya aliran filsafat analitika bahasa yang memandang
bahwa problema-problema filosofis akan menjadi terjelaskan menekala menggunakan
analisis terminologi gramatika, bahkan kalangan filsuf analitika bahasa
menyadari banyak ungkapan-ungkapan filsafat yang sama sekali tidak menjelaskan
apa-apa. Berdasarkan hal tersebut maka banyak kalangan filsuf terutama para
tokoh filsafat analitika bahasa menyatakan bahwa tugas utama filsafat adalah
analisis konsep-konsep. Sebagaimana kita ketahui misalnya banyak filsuf yang
mengetengahkan konsepnya melalui analitika bahasa, misalnya ‘apakah keadilan
itu’, ‘apakah yang dimaksud dengan kebenaran’, ‘apakah yang dimaksud dengan
kebaikan’ dan lain sebagainya. Kegiatan yang semacam itu merupakan suatu permulaan
dari suatu usaha pokok filsafat untuk mendapatkan kebenaran hakiki tentang
segala sesuatu termasuk manusia sendiri.
Namun demikian kegiatan para filsuf semacam itu dewasa ini dianggap tidak
mencukupi karena tidak didukung dengan pengamatan dan pembuktian yang memadai
untuk mendapatkan kesimpulan yang adekuat. Oleh karena itu untuk menjawab
pertanyaan yang fundamental tentang hakikat segala sesuatu para filsuf berupaya
untuk memberikan suatu argumentasi yang didukung dengan analisis bahasa yang
memenuhi syarat-syarat logis. Untuk itu terdapat tiga cara untuk
memformulasikan problema filsafat secara analitis misalnya masalah
sebab-akibat, kebenaran, pengetahuan ataupun kewajiban moral, misalnya tentang
hakikat pengetahuan sebagai berikut:
(1) Kita menyelidiki
pengetahuan itu.
(2) Kita
menganalisis konsep pengetahuan itu.
(3) Kita ingin membuat eksplisit
kebenaran pengetahuan itu.
Untuk pemecahan yang pertama mustahil dapat dilaksanakan karena seakan-akan
filsafat itu mencari dan meneliti suatu entitas (keberadaan) sesuatu yang
disebut pengetahuan berada bebas dari pikiran manusia. Untuk yang kedua itu
juga menyesatkan karena seakan-akan tugas filsafat untuk memeriksa, meneliti
dan mengamati sesuatu yang disebut pengetahuan. Kemudian menentukan bagian-bagiannya,
menentukan hubungan-hubungannya hingga menjadi suatu konsep yang disebut
pengetahuan.
Kiranya hanya kemungkinan alternatif yang ketiga saja yang layak dilakukan
oleh filsafat, yaitu bahwa tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep tersebut
senantiasa melalui bahasa.[12]
Memang filsafat sebagai analisis konsep-konsep tersebut senantiasa berkaitan
dengan bahasa yang berkaitan dengan makna (semantik) dan tidak turut campur
dalam bahasa itu sendiri sebagai suatu realitas.
Problem yang muncul berkaitan dengan filsafat sebagai analisis
konsep-konsep yaitu kekurangan dan keterbatasan bahasa sebagaimana dihadapi
oleh disiplin ilmu-ilmu lainnya. Konsep-konsep filsafat senantiasa
diartikulasikan secara verbal sehingga dengan demikian maka bahasa memiliki
peranan yang netral. Dalam pengertian inilah menurut Alston bahwa bahasa
merupakan laboraturium filsafat untuk menguji dan menjelaskan konsep-konsep dan
problema-problema filosofis bahkan untuk menentukan kebenaran pikirannya.
Kedudukan filsafat sebagai analisis konsep-konsep dan mengingat peranan
bahasa yang bersifat sentral dalam mengungkapkan secara verbal
pandangan-pandangan dan pemikiran filosofis maka timbullah suatu masalah yaitu
keterbatasan bahasa sehari-hari yang dalam masalah tertentu tidak mampu
mengungkapkan konsep filosofis. Menanggapi peranan bahasa sehari-hari dalam
kegiatan filsafat maka terdapat dua kelompok filsuf yang memiliki pandangan
yang berbeda.
(1) Terdapat kelompok filsuf yang beranggapan bahwa sebenarnya bahasa biasa
(ordinary language) yaitu bahasa yang
sehari-hari digunakan dalam komunikasi manusia itu telah cukup untuk
maksud-maksud filsafat atau dengan lain perkataan bahasa sehari-hari itu
memadai sebagai sarana pengungkapan konsep-konsep filsafat. Namun demikian harus
diakui bahwa untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan
bahasa sehari-hari bahasa filsafat harus diberikan suatu pengertian yang khusus
atau harus memberikan suatu penjelasan terhadap penyimpangan tersebut. Menurut
pandangan ini (terutama aliran filsafat bahasa biasanya Wittgenstein II)
masalah-masalah filsafat itu timbul justru karena adanya
penyimpangan-penyimpangan penggunaan bahasa biasanya oleh para filsuf dalam
berfilsafat, sehingga timbullah kekacauan dalam filsafat dan penyimpangan itu
tanpa suatu penjelasan agar dapat dimengerti (Poerwowidagdo, tanpa tahun: 10).
Misalnya kita sering mendengarkan suatu ungkapan filosofis yang menyatakan
bahwa suatu ungkapan itu secara metafisis memiliki makna yang dlam tanpa
memberikan alasan yang memadai agar memiliki suatu dasar kebenaran yang dapat
dipertanggungjawabkan. Maka menurut pandangan yang pertama ini tugas filsuf
dalam memberikan semacam terapi untuk penyembuhan dalam kelemahan penggunaan
bahasa filsafat tersebut.
(2) Sebaliknya terdapat kelompok filsuf yang menganggap bahwa bahasa
sehari-hari itu tidak cukup untuk mengungkapkan masalah-masalah dan
konsep-konsep filsafat. Masalah-masalah filsafat itu justru timbul karena
bahasa biasa itu tidak cukup untuk tujuan analisis filosofis Karena bahasa
sehari-hari memiliki banyak kelemahan dan demi kejelasan kebenaran
konsep-konsep filosofis maka perlu dilakukan suatu pembaharuan bahasa, yaitu
perlu diwujudkan suatu bahasa yang sarat dengan logika sehingga
ungkapan-ungkapan bahasa dalam filsafat kebenarannya dapat
dipertanggungjawabkan. Kelompok filsuf ini antara lain Leibniz, Ryle, Rudolf
Carnap, Bertrand Russell dan tokoh lainnya. Menurut kelompok filsuf ini tugas
filsafat yaitu membangun dan mengembangkan bahasa yang dapat mengatasi kelemahan-kelemahan
yang terdapat dalam bahasa sehari-hari itu. Dengan suatu kerangka bahasa yang
sedemikian itu kita dapat memahami dan mengerti tentang hakikat fakta-fakta
atau kenyataan-kenyataan dunia. Maka yang menjadi perhatian kita yang
terpenting adalah usaha bahwa perhatian filsafat itu memang berkenaan dengan
konsepsi umum tentang bahasa serta makna yang terkandung di dalamnya.
Demikianlah kiranya perhatian filsafat terhadap bahasa dan hal ini mengingat
tugas utama filsafat adalah analisi konsep-konsep dan oleh karena ungkapan
filosofis itu bersifat verbal maka upaya untuk membuat bahasa itu memadai dalam
berfilsafat jadi sangat penting sekali.[13]
C.
Atomisme Logis
Betran Russel
Atomisme logis
merupakan salah satu teori yang ada dalam aliran filsafat analitik bahasa.
Istilah ini dinisbatkan kepada dua filosof Anglo-Saxon, yaitu Bertran Russell
dan Ludwig Wittgenstein (1899-1951). Bertran Russel adalah seorang sarjana yang
lahir dari lingkungan Universitas Cambridge Inggris. Ia banyak menulis tentang
berbagai persoalan diantaranya tentang filsafat, politik, pendidikan, sejarah
dan agama.
Konsep
atomisme logis yang dikembangkan oleh Russell dan wittgenstein sebenarnya
terdapat perbadaan antara keduanya. Akan tetapi jika dilihat dari sudut pandang
pendekatannya antara keduanya terdapat kesamaan yang sangat signifikan. Menurut
Russell untuk memahami atomisme logis kita harus memahami tujuan filsafat
terlebih dahulu yang terdiri dari tiga tujuan yaitu:
a.
Filsafat memiliki tujuan untuk
mengembalikan seluruh ilmu pengetahuan kepada bahasa yang paling padat dan
sederhana. Menurutnya tugas filsafat yaitu merumuskan pandangan yang mendasari
semua ilmu khusus, yaitu dengan jelas merumuskan suatu sintesis.
b.
Menghubungkan logika dan
matematika. Russel menghendaki dalam dunia pendidikan antara jurusan ilmu pasti
(eksak) dan jurusan sastra tidak dipisahkan. Karena menurutnya logika dan tata
bahasa tidak hanya penting bagi bahasa, melainkan juga merupakan dasar bagi
matematika.
c.
Analisis bahasa. Tujuan ketiga ini
pada dasarnya merupakan titik puncak dari tujuan filsafat Russell, yaitu untuk
mencari pengetahuan yang benar.
Ketiga tujuan filsafat Russell tersebut sangat
mempengaruhi seluruh pemikiran filsafatnya, termasuk mempengaruhi konsep
atomisme logis. Juga merefleksi terhadap landasannya, yaitu bahasa logika dan
corak logika, teori isomorfi (teori kesepadanan) dan proposisi atomik. Ketiga
landasan filsafat ini merupakan arah prinsipil untuk memahami filsafat atomisme
logis.
Bahasa logika menurut Russell akan sangat
membantu terhadap aktivitas analisis bahasa. Sebab, ia berkeyakinan bahwa
teknik analisis bahasa yang didasarkan pada bahasa logika yang mampu melukiskan
hubungan antara struktur bahasa dan struktur realitas.
Selanjutnya, kata Russell tugas dari filsafat
pada dasarnya merupakan analisis logis yang diikuti sintesis logis tentang
fakta-fakta. Yang dimaksud dengan analisis logis tentang fakta adalah ialah
pemikiran yang didasarkan pada metode deduksi untuk mendapatkan argumentasi
apriori, yaitu kebenaran yang sudah diketahui kebenarannya sebelum dilakukan
suatu percobaan atau penelitian. Sedangkan sintesis logis yaitu suatu proses
menentukan makna pernyataan atas dasar empirik yang dengan sendirinya akan
melahirkan pengetahuan yang baru. Dalam filsafat Kant pengetahuan ini disebut
dengan pengetahuan sintesis a-posteriori.
Russell menerapkan teknik analisis bahasa untuk
memecahkan problema filsafat. Akan tetapi ia lebih mendahulukan analosis logis
daripada sintesis logis. Karena, teori yang hanya didasarkan pada fakta-fakta
yang bersifat empiris tidak akan bisa menjangkau pengetahuan yang universal.
Sebab, kebenaran yang bersifat logis dan matematis yang diungkapkan melalui
analisis logis akan meyakinkan kita untuk mengakui keberadaan sifat-sifat yang
universa. Berdasarkan uraian tersebut, tampak jelas bahwa Russell hendak
menyusun atomisme logis dengan berpijak pada bahasa logika. Dengan bahasa
logika itulah ia melakukan kerja analisis bahasa bagi bahasa filsafat untuk
memperoleh apa yang disebutnya sebagai atom-atom logis atau proposisi atomis.[14]
Russell memandang proposisi sebagai suatu
simbol-simbol yang rumit yang bisa benar atau salah, dan dia juga menegaskan
bahwa di dunia realita ini yang menentukan proposisiitu benar atau salah adalah
fakta. Proposisi itu terdiri dari simbol-simbol atau sebutan-sebutan (nama)
yang simpel. Suatu sebutan mempunyai makna jika merujuk pada objek. Namun
demikian ini tidak berarti bahwa semua nama yang terdapat dalam kehidupan
sehari-hari adalah simbol-simbol dalam pengertian ini. Hal ini karena struktur
bahasa keseharian bisa jadi salah dan ini merupakan salah satu tugas dari
bahasanya. Russell meminta teorinya tentang deskripsi merupakan pelaksanaan
paradigmatis dari tugas ini. Maksudnya bahwa frase yang bersifat deskriptif
merupakan simbol-simbol yang tidak sempurna yang kegunaannya tidak bergantung
pada suatu refrensi tertentu dan karena itu implikasi ontologis yang salah dari
bahasa sehari-hari tidak diperdebatkan. Dengan cara ini, Russell mengangkat
maxim (dalil) metodologi bahwa melalui analisis bahasayang logis seseorang bisa
mengungkapkan simbol-simbol yang benar-benar sederhana dengan mana dunia
dibangun.[15]
D.
Atomisme Logis
Wittgenstein
Wittgenstein
adalah seorang filosof asal Wina Austria yang merupakan sahabat dan sekaligus
murid Russell yang sangat cemerlang. Akan tetapi dalam berbagai hal Russell
mengakuinya sebagai murid dari Wittgenstein. Dari sini kita dapat melihat bahwa
hubungan antara Russell dan Wittgenstein tidak hanya memiliki hubungan yang
erat dalam bidang intelektual saja, akan tetapi di luar itu juga.[16]
Pada awalnya
filsafat wittgenstein banyak hal yang mirip dengan logika atomisme Russell.
Tulisan-tulisan keduanya sama-sama berasumsi bahwa analisis yang logis dari
bahasa harus menjelaskan unsur pokok atom dari dunia ini. Namun, wittsgenstein
tidak mencurahkan perhatiannya terhadap hakikat atom dan batas pengetahuan kita
tentang atom sebagai unsur pokok, melainkan lebih mencurahkan pada hakekat dan
batas-batas bahasa itu sendiri.
Ciri-ciri khas
proposisi sebagai gambar realitas yang logis yakni dapat melahirkan batasan
yang sempit pada wilayah wacana yang signifikan. Batasan itu ditandai oleh dua
sikap ekstrim yang berhadap-hadapan, dan diantara dua ekstrim ini terdapat
statemen-statemen yang sejati, yang semuanya memfungsikan proposisi pokoknya
untuk kebenaran. Jika proposisi ini hanya menggambarkan gambar realitas
empirik, maka persoalan-persoalan kehidupan lainnya seperti etika, tata nilai,
tentang makna dan tujuan hidup menjadi terusir kaluar dari wilayah wacana yang signifikan.[17]
1.
Pemikiran
Filsafat Wittgenstein Periode II
Setelah karyanya Tractatus Logico Philosophicus,
Wittgenstein tidak menulis karya apa pun sampai ia kembali ke Cambridge pada
tahun 1929. Pada masa ini ia aktif memberikan kuliah dan ceramah sehingga beberapa
kelompok mahasiswa tertarik untuk membukukan karya beliau. Ia juga sedang
mempersiapkan secara bertahap karya besarnya yang kedua Philosophical
Investigations dengan bantuan beberapa mahasiswanya. Bagian pertama buku
tersebut merupakan bagian luas yang diselesaikan sendiri oleh Wittgenstein,
sedangkan bagian kedua ditampilkan dengan gaya dan susunan yang berbeda dan
diselesaikan oleh dua orang mahasiswanya G. Ascombe dan Rush Rhees. Kedua murid
inilah yang kemudian menerbitkan buku tersebut setelah kematian Wittgenstein. Philosophical
Investigations yang diterbitkan pada tahun 1953 merupakan karya filsafat
yang unik bahkan ditampilkan secara berbeda dengan karya-karya filsafat lainnya
termasuk Tractatus. Sedangkan bagian kedua diuraikan dengan tanpa memberikan
nomor pada setiap paragrafnya.[18]
Karya kedua ini dikembangkan dengan orientasi dasar
analisis baru sehingga dalam berbagai uraiannya ia mengkritik beberapa tesis
dalam karya pertama terutama yang berkaitan dengan ide utopisnya tentang bahasa
ideal yang sarat dengan formulasi logika. Melalui Philosophical
Investigations, Wittgenstein mengembangkan paradigma baru dalam filsafat
analitik yang mendasarkan analisis pada ordinary language yaitu dengan
menekankan aspek-aspek permainan bahasa (language game). Dalam hal ini,
filsafat analitis menyesuaikan diri dengan pandangan yang menekankan bahwa
bahasa memiliki keanekaragaman bentuk dan fungsi dalam kehidupan manusia
sehingga penggunaan bahasa dikondisikan oleh aturan penggunaannya. Atas dasar
ini, tidak mengherankan jika karya Philosophical Investigations memuat
banyak contoh konkret, praktis, riil dan kadang imajiner dengan intensi dasar
agar pembaca dapat memahami makna bahasa dalam keanekaragaman bentuk
penggunaannya. Dalam karya ini, Wittgenstein menepis adanya bahasa universal
yaitu sebuah bahasa yang merangkum segala bahasa berdasarkan aturan-aturan
logika. Sebagai gantinya mengembangkan teori tentang adanya bahasa khusus (private
language) yang menjelaskan keberanekaragaman pola penggunaan bahasa. Karena
itu dalam karya ini, Wittgenstein tidak memungkiri bahasa metafisis, teologi
dan etika tetapi menegaskan bahwa bahasa-bahasa tersebut merupakan salah satu
dari ragam bahasa yang khusus: salah satu model permainan bahasa dalam
kehidupan manusia.
Dalam bagian ini, penulis ingin menyajikan beberapa
pengertian penting filsafat Wittgenstein yang tertuang dalam karya keduanya
ini. Ada beberapa topik penting yang dapat dijadikan kerangka pikir untuk
mendalami perubahan filosofis dan pemikiran kritis Wittgenstein terhadap karya
periode pertamanya.
2. Permainan
Bahasa (language games)
Permainan bahasa merupakan konsep yang fundamental
dalam Philosophical Investigation, seperti halnya teori gambar dalam Tractatus
Logicus Philosophicus. Dalam upaya membuka kabut kesalahpahaman bahasa
dalam filsafat, Wittgenstein berkeyakinan bahwa penyelidikan filosofis mesti
dihantar pada konteks penggunaan bahasa dalam kalimat dan dalam hubungan antara
kalimat itu dengan tindakan bahasa tertentu. Hal ini diyakini karena pada
suatu kalimat yang sama dapat memiliki kemungkinan penggunaan yang sangat
berbeda tergantung pada apa yang sedang dikerjakan dan dalam konteks apa
kalimat itu dipergunakan.
Hal ini diasumsikan oleh gagasan yang menyatakan bahwa
setiap penggunaan bahasa memiliki aturan main tersendiri. Misalnya, perintah untuk “membawa lima buah papan” berbeda
dengan laporan “membawa lima buah papan”. Penggunaan kalimat “membawa lima buah
papan” pada analisis tersebut, menggambarkan perbedaan makna dalam konteks
penggunaan bahasa yang berbeda-beda oleh karena “aturan main” yang
berbeda-beda. Wittgenstein berpendapat bahwa terdapat banyak permainan bahasa
bahkan tak terhitung jumlahnya sehingga memiliki sifat yang sangat beragam dan
kompleks misalnya melaporkan suatu kejadian, meramalkan kejadian, menceritakan
pengalaman dan aneka bentuk permainan bahasa lainnya.
Wittgenstein mengawali deskripsinya tentang permainan
bahasa dengan menyatakan bahwa permainan bahasa berkaitan dengan bahasa
sehari-hari yang bersifat sederhana. Permainan bahasa merupakan sebuah proses
alamiah penggunaan bahasa natural sejak kanak-kanak, karena itu Wittgenstein
menyebut permainan bahasa sebagai sebuah bahasa primitif. Secara lebih luas
Wittgenstein mengatakan bahwa keseluruhan tindakan penggunaan bahasa dalam
konteks kehidupan manusia senantiasa terjalin dalam suatu hubungan tata
permainan bahasa. Setiap ragam bahasa memiliki tata permainan bahasa tertentu.
Dengan kata lain, bahasa adalah penampakan dari permainan bahasa.
Permainan bahasa merupakan suatu peristiwa yang tidak
dapat diprediksi karena permainan bahasa bersifat spasio-temporal (dikondisikan
oleh konteks waktu dan tempat tertentu). Dalam permainan bahasa tidak ada satu
norma baku yang mengikat dan berlaku absolut bagi setiap ragam penggunaan
walaupun untuk ragam penggunaan yang sama. Misalnya pada ragam bahasa perintah
pada dua peristiwa yang berbeda. Kita dapat mengatakan bahwa pada permainan
bahasa dalam ragam perintah yang satu berbeda dari permainan bahasa dalam ragam
perintah yang lain. Perintah pada saat sekarang bisa berarti mubazir pada masa
yang akan datang. Perintah pada waktu lampau bisa jadi tidak lagi aktual untuk
dilaksanakan pada masa sekarang. Karena itu permainan bahasa itu bersifat unik,
dinamis, tidak tetap (mutable) dan sesuai konteks (follow the
situations).
Kendatipun demikian, hal itu tidak berarti bahwa
permainan bahasa tidak memiliki karakter normatif. Justru sebaliknya term
”permainan bahasa” merujuk pada aturan-aturan tertentu dalam bahasa yang diacu
oleh setiap pengguna bahasa yang berbeda-beda. Wittgenstein mengatakan: ”Suatu
permainan hendaklah berpedoman pada suatu aturan. Dalam suatu permainan catur
jika sudah ditentukan bahwa ”raja” memegang peranan yang sangat penting, maka
ketentuan itu merupakan bagian yang esensial dalam permainan tersebut. Apakah
kita dapat melanggar aturan yang telah ditentukan di sini? Pelanggaran
itu hanya menunjukkan bahwa kita tidak mengetahui petunjuk yang sebenarnya
tentang aturan permainan itu. Mungkin kita tidak memahami aturan tersebut
secara baik sehiingga mengerti salah petunjuk yang menggariskan agar kita
berpikir tiga langkah ke depan sebelum menggerakkan setiap buah catur. Jikalau
kita menjumpai penerapan aturan ini di atas papan catur, kita tentu akan merasa
kagum dan memahami maksud dan tujuan suatu aturan. Analogi di atas menunjukkan
bahwa dalam berbagai macam permainan bahasa terdapat aturan main tersendiri
yang dijadikan pedoman dalam permainan tersebut. Aturan main ini berlaku secara
spesifik karena itu tidak dapat dicampuradukkan satu dengan yang lain karena penerapan
aturan main yang satu kepada aturan main yang lain akan menimbulkan kekacauan
dalam berbahasa. Misalnya aturan main dalam ragam bahasa santai tidak dapat
dimasukkan sebagai ragam yang sah dari penulisan ilmiah. Oleh karena itu,
mustahil bilamana kita menentukan suatu permainan bahasa yang bersifat umum
berlaku dalam setiap konteks kehidupan. Sebaliknya, bahasa akan memiliki makna
jika mampu mencerminkan aturan-aturan yang terdapat dalam setiap konteks
penggunaannya yang sifatnya beraneka ragam dan tidak terbatas.
Wittgenstein mengatakan bahwa permainan bahasa
bersifat unik, berbeda-beda dan tidak tercampurbaurkan tidak dengan sendirinya
memungkiri adanya suatu pola umum yang dapat menjembatani beberapa permainan
bahasa tertentu. Dalam tataran praktis kita menemukan adanya penggunaan kata
atau kalimat yang sama kendatipun untuk maksud dan konteks yang berbeda-beda.
Dalam hal ini Witttgenstein berbicara tentang adanya kemiripan keluarga (family
resemblance). Ia mengatakan: Saya kira tidak ada ungkapan yang lebih sesuai
untuk mengungkapkan kesamaan ini selain aneka kemiripan keluarga. Aneka
kemiripan di antara anggota keluarga itu terlihat pada bentuk, penampakan,
warna mata, sikap, temperamennya dan lain sebagainya. Walaupun nampaknya
simpang siur namun terletak dalam jalur yang sama dan hal ini sebagai bentuk
permainan bahasa dalam sebuah keluarga. Dalam hal ini penggunaan kata
atau kalimat yang sama dengan pelbagai cara yang berbeda bukanlah berarti
memiliki makna yang sama melainkan memiliki dasar-dasar kemiripan yang bersifat
umum. Selain itu, dalam ragam bahasa yang sama meskipun memiliki arti yang
berbeda dapat dilihat adanya suatu kemiripan yang menjadi pola umum dari ragam
bahasa tersebut. Misalnya, pada ragam bahasa berdoa selalu ditutup dengan kata
”amin” atau dalam ragam bahasa doa permohonan ditemui sebuah kemiripan nada
memohon meskipun diungkapkan dengan kalimat yang berbeda untuk tujuan yang
berbeda. Dalam gagasan permainan bahasa, terdapat beberapa pokok pengertian
yang dapat diambil dari pemikiran Wittgenstein sebagai berikut:[19]
Pertama, ada banyak permainan bahasa akan
tetapi tidak ada hakikat yang sama di antara permainan-permainan bahasa
tersebut. Esensi setiap permainan bahasa pada prinsipnya berbeda satu dengan
lainnya tergantung pada konteks penggunaannya. Namun demikian di antara
permainan-permainan ini dikenal adanya suatu kemiripan.
Kedua, karena permainan bahasa ini tidak
memiliki satu hakikat yang sama, maka timbul kesulitan dalam hal menentukan
batas-batas permainan dengan secara tepat mengenai permainan tersebut. Kita
hanya dapat mengetahui kemiripan bukannya kesamaan dari berbagai permainan
bahasa karena batas-batasnya.
Ketiga, meskipun orang tidak tahu persis
sebuah permainan bahasa, namun dapat diketahui apa yang dapat dibuat dengan
sebuah permainan itu. Permainan memang sebuah konsep yang sangat halus dan
sulit untuk didefinisikan, sehingga sulit untuk dijelaskan dengan tuntas
tentang permainan tersebut. Mengingat hal tersebut maka yang dapat dilakukan
adalah memberikan deskripsi atau contoh-contoh. Dengan deskripsi dan
contoh-contoh tersebut akan membantu dalam pemaknaan suatu bahasa.
3. Kritik
terhadap Filsafat Ludwig Wittgenstein
Pemikiran filsafat analisis
Wittgenstein, khususnya tentang language game, memberikan pengaruh yang
sangat besar kepada para pemikir sesudahnya, di antaranya Jean-Francois Lyotard
saat meneliti tentang masyarakat industrial. Namun demikian, ada bebarapa
kritikan yang penting diajukan dalam studi ini.
Pertama,
peta yang dibuat Gilbert Ryle dalam “ordinary use” (penggunaan bahasa biasa
yang baku) dan “ordinary usage” (penggunaan bahasa biasa dalam kebiasaan
sehari-hari) melengkapi konsep language game Wittgenstein tentang
pentingnya untuk membangun batasan yang ketat antara bahasa biasa baku dengan
bahasa biasa sehari-hari.
Sebagaimana yang dicontohkan di
bagian sebelumnya, kata biasa baku “permintaan dan penawaran” (demand and
supply) adalah khas ilmu Ekonomi. Kekhasan ini harus dipertahankan sebagai
standard tetap dalam menggunakan istilah-istilah baku sesuai dengan disiplinnya
masing-masing. Meskipun kata “permintaan dan penawaran” juga ditemui dalam
penggunaan bahasa biasa sehari-hari, namun jika tidak ditetapkan secara baku
sesuai disiplinnya,maka hal itu akan memicu kekacauan makna bahasa. Jadi, Ryle
melengkapi konsep language game Wittgenstein yang berhenti pada batas
konteks penggunannya, dengan menambahkan kategorisasi tata penggunaan bahasa ke
level ilmiah dan non-ilmiah, kendati sama-sama bersumber pada penggunaan bahasa
biasa.
Kedua,
kepentingan bahasa. Setiap kata dan bahasa niscaya mengusung kepentingan, apa
pun itu. Karena itulah, kata Hans-Georg Gadamer dengan menyetujui Martin
Heidegger, memahami sebuah bahasa sesungguhnya merupakan kegiatan menyelidiki
proses universal dari tindakan hakikat manusia sebagai sebuah Ada.“Pemahaman” (atau “mengerti”)
harus dipandang sebagai sikap fundamental untuk “mengerti” cara berada manusia
sendiri.[20]
Itulah sebabnya makna sebuah kata atau bahasa harus digali dari segala unsur
yang melengkapi bangunan kata itu sendiri, karena makna sepenuhnya terdapat
dalam kata-kata itu sendiri; kata-kata selalu mengandung makna yang penuh, dan
merupakan makna utuh bagi yang membangunnya.Tegasnya, setiap pengucap kata pastilah
mengusung kepentingannya, keinginannya, yang intens dalam makna kata-katanya.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Filsafat analitik adalah suatu gerakan filosof Abad ke 20, khususnya di
Inggris dan Amerika Serikat yang memusatkan perhatiannya pada bahasa dan
mencoba menganalisa pernyataan-pernyataan (konsep-konsep, ungkapan-ungkapan
kebahasaan atau bentuk-bentuk yang logis) supaya menemukan bentuk-bentuk yang
paling logis dan singkat yang cocok dengan fakta-fakta atau makna-makna yang
disajikan.
Perhatian filsafat terhadap bahasa sebenarnya telah berlangsung lama,
bahkan sejak zaman Pra Sokrates, akan tetapi filsafat bahasa tersebut menjadi
populer pada abad ke XX dengan telaah analitik filosofik Wittgenstein tentang
bahasa.
Adapun tokoh-tokoh yang melahirkan filsafat analitik sebagai berikut:
Gottlob Frege, Beltrand Russel dan Ludwig Wittgeinsten.
Aliran-aliran analitik bahasa yang pertama adalah atomisme logis, yang
kedua positivisme logis dan yang ketiga filsafat bahasa biasa (the ordinary language philosophy).
- Saran
Mengingat keterbatasan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh
penulis, maka untuk mendapat pemahaman yang lebih mendasar lagi, disarankan
kepada pembaca untuk membaca literatur-literatur yang telah dilampirkan pada
daftar rujukan
Dengan demikian pula diharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat
membangun dari pembaca, agar makalah ini dapat memberikan pengetahuan tentang
filsafat analitika bahasa.
DAFTAR
PUSTAKA
Abidin, Zainal. 2004. Semantika; Pengantar Studi Tentang Makna. Cet.
V; Jakarta: Raja Grafindo persada
Alston, P. William. 1964. Philosophy of Language. London: Prentice Hall Inc.
Cassirer, Ernst. 1962. An Essay on Man. United States Of America: Yake University Press.
Endarmoko, Eko. 2006. Tesaurus Bahasa Indonesia.
Cet. I; Jakarta: PT Gramedia.
Kaelan. 2006. Perkembangan
Filsafat Analitika Bahasa dan Pengaruhnya Terhadap Ilmu Pengetahuan.
Yogyakarta: Paradigma.
Kaelan. 2009. Filsafat
Bahasa Semiotika dan Hermeneutika. Yogyakarta: Paradigama.
Hartoko, Dick 2002 Kamus Populer
Filsafat . Cet. III; PT. Raja Grafindo Persada.
Hidayat, Asaep
Ahmad. 2009.Filsafat Bahasa Mengungkapkan Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Mudhofir, Ali. 1996. Kamus Teori dan Aliran Dalam
Filsafat dan Teologi (Cet I; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Muhadj, Noeng. 2001. Filsafat Ilmu Positivisme, Post positivisme, dan Post Modernisme.
Yogyakarta: Rakesarasin.
Poerwowidagdo, Yudowibowo. Tanpa tahun. Filsafat Bahasa. Suatu diktat materi
kuliah.
Rasjidi, H. M. 1984. Persoalan-Persoalan Filsafat. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Russell, Bertrand. 1974. History of Western Philosophy. Oxford: Alden Press.
Thomson, John
B. 2003. Filsafat Bahasa dan Hermeunitik Untuk Penelitian Sosial. Surabaya:
Visi Humanika.
[1]Bertrand Russel, History
of Western philosophy (Oxford: Alden Press, 1974), h. 13
[2]H. M. Rasjidi, Persoalan-Persoalan
Filsafat (Cet. I; Jakarta: P. T. Bulan Bintang, 1984), h. 358
[3]Eko Endarmoko, Tesaurus
Bahasa Indonesia (Cet. I; Jakarta: PT Gramedia, 2006), h. 24
[4] Ibid, 9.
[5]Zainal Abidin, Semantika;
Pengantar Studi Tentang Makna (Cet. V; Jakarta: Raja Grafindo persada,
2004), h. 76
[6]Dick Hartoko, Kamus
Populer Filsafat (Cet. III; PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 4
[7]Ali Mudhofir, Kamus
Teori dan Aliran Dalam Filsafat dan Teologi (Cet I; Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1996), h. 8
[8]Kaelan M.S, Perkembangan
filsafat Analitika bahasa dan pengaruhnya Terhadap ilmu Pengetahuan (Cet.
I; Yogyakarta: Paradigma, 2006), h. 7
[9] Cassirer,An Essay on Man,Yale (
United States of America: University Press,1962) h. 170
[10]Noeng Muhadj, Filsafat Ilmu
Positivisme, PostPositivisme, dan PostModernisme (Cet. I; Yogyakarta:
Rakesarasin, 2001), h. 98
[11]Kaelan M.S, Perkembangan filsafat Analitika
bahasa,8
[12] Yudhowibowo poerwowidagdo,
Filsafat Bahasa, Sebuah diktat materi kuliah, h. 4
[13]Alston, P. William. 1964. Philosophy of Language. London: Prentice
Hall Inc.h.6
[14] Asaep Ahmad Hidayat, Filsafat
Bahasa Mengungkapkan Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2009) h. 47-50
[15] John B. Thomson, Filsafat
Bahasa dan Hermeunitik Untuk Penelitian Sosial, Surabaya: Visi Humanika,
2003. Hal:13-14
[16] Asep Ahmad Hidayat. Hal:47-48
[17] John B. Thompson, Filsafat...14-15
Posting Komentar