BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Terjadinya krisis
ekonomi di Indonesia antara lain disebabkan oleh tatacara penyelenggaraan
pemerintahan yang tidak dikelola dan diatur dengan baik. Akibatnya timbul
berbagai masalah seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sulit
diberantas, masalah penegakan hukum yang sulit berjalan, monopoli dalam
kegiatan ekonomi, serta kualitas pelayanan kepada masyarakat yang memburuk.
Masalah-masalah
tersebut juga telah menghambat proses pemulihan ekonomi Indonesia, sehingga
jumlah pengangguran semakin meningkat, jumlah penduduk miskin bertambah,
tingkat kesehatan menurun, dan bahkan telah menyebabkan munculnya
konflik-konflik di berbagai daerah yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan
negara Republik Indonesia.
Bahkan kondisi saat
inipun menunjukkan masih berlangsungnya praktek dan perilaku yang bertentangan
dengan kaidah tata pemerintahan yang baik, yang bisa menghambat terlaksananya
agenda-agenda reformasi.
Penyelenggaraan
pemerintahan yang baik adalah landasan bagi pembuatan dan penerapan kebijakan
negara yang demokratis dalam era globalisasi. Fenomena demokrasi ditandai
dengan menguatnya kontrol masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan,
sementara fenomena globalisasi ditandai dengan saling ketergantungan
antarbangsa, terutama dalam pengelolaan sumber-sumber ekonomi dan aktivitas
dunia usaha (bisnis).
Kedua perkembangan
diatas, baik demokratisasi maupun globalisasi, menuntut redefinisi peran
pelaku-pelaku penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintah, yang sebelumnya
memegang kuat kendali pemerintahan, cepat atau lambat harus mengalami
pergeseran peran dari posisi yang serba mengatur dan mendikte ke posisi sebagai
fasilitator. Dunia usaha dan pemilik modal, yang sebelumnya berupaya mengurangi
otoritas negara yang dinilai cenderung menghambat perluasan aktivitas bisnis,
harus mulai menyadari pentingnya regulasi yang melindungi kepentingan publik.
Sebaliknya, masyarakat yang sebelumnya ditempatkan sebagai penerima manfaat
(beneficiaries), harus mulai menyadari kedudukannya sebagai pemilik kepentingan
yang juga harus berfungsi sebagai pelaku.
Oleh karena itu, tata pemerintahan yang
baik perlu segera dilakukan agar segala permasalahan yang timbul dapat segera
dipecahkan dan juga proses pemulihan ekonomi dapat dilaksanakan dengan baik dan
lancar. Disadari, mewujudkan tata pemerintahan yang baik membutuhkan waktu yang
tidak singkat dan juga upaya yang terus menerus. Disamping itu, perlu juga
dibangun kesepakatan serta rasa optimis yang tinggi dari seluruh komponen
bangsa yang melibatkan tiga pilar berbangsa dan bernegara, yaitu para aparatur
negara, pihak swasta dan masyarakat madani untuk menumbuhkembangkan rasa
kebersamaan dalam rangka mencapai tata pemerintahan yang baik.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan
dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Apa pengertian dan latar belakang good governance?
2.
Bagaimana prinsip dan konsepsi good governance?
3.
Apa saja prinsip-prinsip good governance pada sektor pemerintah?
4.
Apa saja prinsip-prinsip good governance pada sektor swasta?
5.
Bagaimana cara mengembangkan struktur organisasi dan manajemen perubahan?
6.
Bagaimana hubungan antara good governance dengan otonomi daerah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Latar Belakang Good
Governance
1. Pengertian
Good Governance
Dari segi
administrasi pembangunan, good governance didefinisikan sebagai berikut:
An overall
institutional framework within wich its citizens are allowed to interact and
transact freely, at difference levels, to fulfil its political, economic and
social apirations. Basically, good governance has three aspect:
(i)
The ability of citizens to express views and acces
decision making freely;
(ii) The
capacity of the government agencies (both political and bureaucratic) to
translate these views into realistic plans and to implement them cost
effectively; and
(iii) The ability
of citizens and institutions to compare what has been asked for with what has
been planned, and to compare what has been planned with what has been
implemented".
Sedangkan dari
segi teori pembangunan, good governance diartikan sebagai berikut:
" ........ a
plitical and bureaucratic framework wich provides an enabling macra-economic
environment for investment and growth, which pursues distributional and equity
related policies; which makes entrepreneurial interventions when and where
required and which practices honest and afficient management principles. A
commited and imaginative political leadership accompanied by an efficient and
accountable bureaucracy does seem to be the key to the establishment of good
governance in a country."
Dari definisi di
atas dapat disimpulkan bahwa good governance mensyaratkan adanya
hubungan yang harmonis antara negara (state), masyarakat (civil
siciety) dan pasar (market).
Jika mengacu pada
World Bank dan UNDP, orientasi pembangunan sektor publik (public sector)
adalah menciptakan good governance. Pengertian good governance
adalah kepemerintahan yang baik, menurut UNDP (United Nation Develepment
Program) dapat diartikan sebagai suatu penyelenggaraan manajemen
pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip
demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi,
pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan
disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi
tumbuhnya aktivitas usaha.
2.
Latar Belakang Good Governance
Jika ditarik lebih jauh, lahirnya wacana good governance
berakar dari penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada praktik pemerintahan,
seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Penyelenggaraan urusan publik yang
bersifat sentralistis, non-partisipatif serta tidak akomodatif terhadap
kepentingan publik, telah menumbuhkan rasa tidak percaya dan bahkan antipati
kepada rezim pemerintahan yang ada. Masyarakat tidak puas dengan kinerja
pemerintah yng selama ini dipercaya sebagai penyelenggara urusan publik. Beragam
kekecewaan terhadap penyelenggaraan pemerintahan tersebut pada akhirnya
melahirkan tuntutan untuk mengembalikan fungsi-fungsi pemerintahan yang ideal.
Good governance tampil sebagai upaya untuk memuaskan dahaga publik atas kinerja
birokrasi yang sesungguhnya.
B. Prinsip dan Konsepsi Good
Governance
1. Prinsip
Good Governance
Berdasarkan
pengertian Good Governance oleh Mardiasmo dan Bank Dunia yang disebutkan
diatas dan sejalan dengan tuntutan reformasi yang berkaitan dengan aparatur
Negara termasuk daerah aadlah perlunya mewujudkan administrasi Negara yang
mampu mendukung kelancaran dan keterpaduan pelaksanaan tugas, dan fungsi
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan maka menuntut penggunaan konsep Good
Governance sebagai kepemerintahan yang baik, relevan dan berhubungan satu
dengan yang lainnya. Ide dasarnya sebagaimana
disebutkan Tingkilisan (2005:116) adalah bahwa Negara merupakan institusi yang
legal formal dan konstitusional yang menyelenggarakan pemerintahan dengan
fungsi sebagai regulator maupun sebagai Agent of Change.
Sebagaimana
dikemukakan diatas bahwa Good Governance awalnya digunakan dalam dunia
usaha (corporate) dan adanya desakan untuk menyusun sebuah konsep dalam
menciptakan pengendalian yang melekat pada korporasi dan manajemen
professionalnya, maka ditetapkan Good Corporate Governance. Sehingga
dikenal prinsip-prinsip utama dalam Governance korporat adalah: transparansi,
akuntabilitas, fairness,responsibilitas, dan responsivitas.
(Nugroho,2004:216)
Transparansi
merupakan keterbukaan, yakni adanya sebuah system yang memungkinkan
terselenggaranya komunikasi internal dan eksternal dari korporasi.
Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban secara bertingkat keatas, dari
organisasi manajemen paling bawah hingga dewan direksi, dan dari dewan direksi
kepada dewan komisaris. Akuntabilitas secara luas diberikan oleh dewn komisaris
kepada masyarakat. Sedangkan akuntabilitas secara sempit dapat diartikan secara
financial. Fairness agak sulit diterjemahkan karena menyangkut keadilan dalam
konteksmoral. Fairness lebih menyangkut moralitas dari organisasi bisnis dalam
menjalankan hubungan bisnisnya, baik secara internal maupun eksternal.
Responsibilitas
adalah pertanggungjawaban korporat secara kebijakan. Dalam konteks ini,
penilaian pertanggungjawaban lebih mengacu kepada etika korporat, termasuk
dalam hal etika professional dan etika manajerial. Sementara itu komite
governansi korporat di Negara-negara maju menjabarkan prinsip governansi
korporat menjadi lima kategori, yaitu: (1) hak pemegang saham, (2) perlakuan
yang fair bagi semua pemegang saham, (3) peranan konstituen dalam governansi
korporat, (4) pengungkapan dan transparansi dan (5) tanggungjawab komisaris dan
direksi.
UNDP memberikan
beberapa karekteristik pelaksanaan good governance, meliputi:
·
Participation, keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik
secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat
menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan
berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
·
Rule of law, kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang
bulu.
·
Tranparancy, transparansi dibangun atas dasar kebebbasan memperoleh
informasi. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung
dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan.
·
Responsiveness, lembaga-lembaga publik harus cepat dan tanggap dalam
melayani stake holders.
·
Concensus orientation, berorientasi pada kepentingan masyarakat luas
·
Equity, setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperleh
kesejahteraan dan keadilian.
·
Efficiency dan effectiveness, pengelolaan sumber daya publik dilakukan
secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif).
·
Accountbility, pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas
yang dilakukan.
·
Strategic vision, penyelenggaraan pemerintahan dan masyarakat memiliki
visi jauh ke depan.
C. Karakteristik Dasar Good Governance
Ada tiga karakteristik dasar good governance :
1. Diakuinya
semangat pluralisme. Artinya, pluralitas telah menjadi sebuah keniscayaan yang
tidak dapat dielakkan sehingga mau tidak mau pluralitas telah menjadi suatu
kaidah yang abadi. Dengan kata lain pluralitas merupakan sesuatu yang kodrati (given)
dalam kehidupan. Pluralisme bertujuan mencerdaskan umat melalui perbedaan
konstruktif dan dinamis, dan merupakan sumber dan motivator terwujudnya
kreativitas yang terancam keberadaannya jika tidak terdapat perbedaan. Satu hal
yang menjadi catatan penting bagi kita adalah sebuah peradaban yang kosmopolit
akan tercipta apabila manusia memiliki sikap inklusif dan kemampuan (ability)
menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar. Namun, dengan catatan, identitas
sejati atas parameter-parameter otentik agama tetap terjaga.
2. Tingginya
sikap toleransi, baik terhadap saudara sesame agama maupun terhadap umat agama
lain. Secara sederhana, toleransi dapat diartikan sebagai sikap suka mendengar
dan menghargai pendapat dan pendirian orang lain. Senada dengan hal itu,
Quraish Shihab (2000) menyatakan bahwa tujuan agama tidak semata-mata
mempertahankan kelestariannya sebagai sebuah agama, namun juga mengakui
eksistensi agama lain dengan memberinya hak hidup, berdampingan, dan saling
menghormati.
3. Tegaknya prinsip
demokrasi. Demokrasi bukan sekedar kebebasan dan persaingan, demokrasi juga
merupakan suatu pilihan untuk bersama-sama membangun dan memperjuangkan
perikehidupan warga dan masyarakat yang semakin sejahtera.
Masyarakat madani mempunyai ciri-ciri
ketakwaan yang tinggi kepada Tuhan, hidup berdasarkan sains dan teknologi,
berpendidikan tinggi, mengamalkan nilai hidup modern dan progresif, mengamalkan
nilai kewarganegaraan, akhlak, dan moral yang baik, mempunyai pengaruh yang
luas dalam proses membuat keputusan, serta menentukan nasib masa depan yang
baik melalui kegiatan sosial, politik, dan lembaga masyarakat.
D.
Penerapan Prinsip Good Governance pada Sektor Publik
Di dalam berbagai analisis dikemukakan, ada keterkaitan
antara krisis ekonomi, krisis finansial dan krisis yang berkepanjangan
di berbagai negara dengan lemahya corporate
governance.
Corporate
governance adalah seperangkat tata hubungan diantara manajemen, direksi, dewan
komisaris, pemegang saham dan para pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya
yang mengatur dan mengarahkan kegiatan perusahaan (OECD, 2004).
Good Corporate Governance (GCG)
diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup perusahaan melalui pengelolaan yang
didasarkan pada asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi
serta kewajaran dan kesetaraan. Di tahun 2007 Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan PT Multi Utama Indojasa melaksanakan
kegiatan studi Implementasi Good Corporate Governance (GCG) di Sektor swasta, BUMN dan
BUMD. Studi ini ditujukan untuk memperoleh gambaran awal (baseline) yang
komprehensif tentang pelaksanaan prinsip-prinsip GCG di Sektor swasta, BUMN dan
BUMD di Indonesia yang dari waktu ke waktu bisa digunakan sebagai data
pembanding dengan kondisi di masa depan.
Studi dilakukan
dengan 3 (tiga) metode, yaitu (1) penyebaran kuesioner kepada responden, (2)
wawancara mendalam dengan pimpinan perusahaan yang menangani implementasi GCG,
dan (3) penelusuran dokumen perusahaan. Perusahaan yang terlibat dalam studi
ini adalah 66 perusahaan, yang terdiri dari 37 perusahaan swasta yang sudah go public, 17 perusahaan BUMN (12
diantaranya sudah go public), dan 12 perusahaan BUMD. Dari setiap perusahaan,
diambil sekitar 27 responden, mulai dari Preskom hingga karyawan
non-manajerial, serta pihak-pihak eksternal dari perusahaan seperti pelanggan,
pemasok, perusahaan asuransi, auditor eksternal, investor institusi, lembaga
pembiayaan dan perusahaan afiliasi.
Data dari
kuesioner diolah dan dianalisis secara kuantitatif, sedangkan hasil wawancara
mendalam dan penelusuran dokumen diolah dan dianalisis secara kualitatif.
Analisis implementasi GCG dilakukan dengan mengukur implementasi berdasarkan
prinsip-prinsip GCG yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi,
dan fairness, serta berdasarkan kerangka kerja GCG yaitu compliance,
conformance, dan performance. Selain itu, secara khusus dilihat aspek code of
conduct, pencegahan korupsi dan disclosure. Dari hasil studi diketahui bahwa
secara umum implementasi GCG pada perusahaan-perusahaan yang menjadi responden
sudah sangat baik. Hal ini dapat dilihat dari Indeks GCG yang didapat, baik
berdasarkan prinsip-prinsip GCG yang mencapai angka 88,89 maupun berdasarkan
kerangka kerja implementasi GCG (compliance, conformance dan performance) yang
mencapai 90,41. Demikian juga untuk aspek code of conduct, pencegahan korupsi,
dan disclosure.
Hal ini berarti
secara rata-rata, hampir 90% dari prinsip-prinsip GCG sudah dilaksanakan oleh
perusahaan responden. Dari prinsip-prinsip GCG, ada satu prinsip yang relatif
lemah yaitu responsibilitas. Lemahnya implementasi prinsip ini berkenaan dengan
masih lemahnya implementasi dalam pembentukan komite-komite fungsional di bawah
Komisaris. Sebagian perusahaan responden hanya memiliki Komite Audit, Komite
Nominasi dan Remunerasi serta Komite Manajemen Resiko, sedangkan komite-komite
lainnya seperti Komite Asuransi, Komite Kepatuhan, Komite Eksekutif, dan Komite
GCG, masih banyak yang belum memilikinya. Adapun prinsip yang sudah relatif
kuat adalah prinsip transparansi dan fairness.
Ini menunjukkan
perusahaan telah berupaya untuk lebih transparan dan fair kepada stakeholder.
Jika dilihat berdasarkan kerangka kerja GCG, aspek yang masih lemah adalah
aspek compliance pada sisi Board dan conformance pada sisi Karyawan. Pada sisi
Board, kelemahannya selain pada pembentukan komite-komite, juga pada
implementasi pencegahan benturan kepentingan, dan peningkatan kerjasama dengan
penegak hukum. Sedangkan pada sisi karyawan, berkaitan dengan penandatanganan
pernyataan kepatuhan kepada Pedoman Perilaku dan Peraturan Perusahaan. Indeks
code of conduct adalah 88,77. Artinya secara umum perusahaan telah memiliki
code of conduct dan telah memuat beberapa hal yang berkaitan dengan
implementasi prinsip-prinsip GCG. Namun yang masih perlu diperbaiki dalam code
of conduct ini adalah sosialisasi kepada pihak eksternal seperti pelanggan,
pemasok dan perusahaan asuransi.
Indeks pencegahan
korupsi adalah 89,39, yang berarti sudah cukup baik. Namun beberapa hal yang
perlu didorong adalah pengawasan terhadap pelaksanaan dari tindakan yang
berpotensi terhadap terjadinya benturan kepentingan. Selain itu, masih belum
adanya kerjasama antara perusahaan dengan lembaga penegak hukum dalam
mengembangkan sistem pencegahan korupsi. Indeks untuk disclosure ini adalah
92,42. Aspek ini termasuk yang menonjol dan menjadi perhatian utama dari
responden, terutama bagi perusahaan yang sudah go public. Aspek ini menjadi
sangat diprioritaskan oleh perusahaan karena kinerja pada aspek ini dapat
dinilai dan dirasakan oleh pihak luar. Untuk analisis, perusahaan responden
dibagi dalam 4 (empat) kelompok, yaitu BUMN/BUMD Lembaga Keuangan, BUMN/BUMD
Non Lembaga Keuangan, Swasta Lembaga Keuangan, dan
Swasta Non Lembaga Keuangan.
Pembagian ini
untuk memudahkan analisis serta agar perbandingan antar perusahaan dapat
dilakukan lebih fair. Hasil studi menunjukkan bahwa swasta lembaga keuangan memiliki indeks yang paling tinggi
dibanding kelompok yang lain, baik berdasarkan prinsip-prinsip GCG maupun
berdasarkan compliance, conformance, dan performance. Selain itu, kelompok ini
juga memiliki indeks yang paling tinggi untuk code of conduct dan pencegahan
korupsi.
Namun untuk
disclosure, indeks tertinggi diraih kelompok swasta non lembaga keuangan. Secara umum implementasi di
perusahaan yang bergerak di sektor keuangan, baik perusahaan swasta BUMN/BUMD lebih baik
dibanding perusahaan non lembaga keuangan. Selain itu, implementasi
di perusahaan yang swasta lebih baik dibanding BUMN/BUMD. Demikian pula, perusahaan
yang sudah terbuka (go public) lebih baik dibanding perusahaan yang belum go
public. Berdasarkan kerangka kerja GCG, aspek compliance cukup lemah pada
kelompok perusahaan non lembaga keuangan. Hal ini dikarenakan oleh banyaknya
perusahaan yang belum melengkapi komite-komite fungsionalnya. Selain itu, masih
kurangnya tindakan komisaris terhadap (potensi) benturan kepentingan yang
menyangkut dirinya. Sebaliknya, aspek-aspek tersebut sangat diperhatikan oleh
perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor keuangan, sehingga lembaga
keuangan lebih patuh dibanding perusahaan non lembaga keuangan. Sebagai
rekomendasi, untuk meningkatkan kualitas implementasi GCG,
perusahaan-perusahaan perlu didorong untuk lebih patuh dalam membentuk berbagai
komite fungsional yang diperlukan dalam
penerapan GCG. Lembaga-lembaga yang berfungsi
mengawasi dan membina seperti Bank Indonesia, Menneg BUMN dan Bapepam LK agar
lebih proaktif dalam mengawasi implementasi GCG terutama berkaitan dengan
potensi terjadinya benturan kepentingan.
Selain itu, perlu
diterbitkan peraturan yang dapat memaksa perusahaan sawsta yang belum terbuka
dan BUMD untuk menerapkan GCG. Implementasi
Good Goverment dan Clean Goverment pada institusi pemerintah
terutama yang berkaitan dengan pelayanan publik seperti Ditjen Pajak, Bea
Cukai, Imigrasi, BPN, Institusi yang mengeluarkan perizinan, dan institusi
penegak hukum. Hal ini untuk mendorong badan usaha lebih konsisten dalam
menerapkan GCG serta untuk menciptakan iklam usaha yang lebih sehat, kondusif
dan kompetitif. Dalam rangka meningkatkan kerjasama perusahaan dengan lembaga
penegak hukum dalam upaya pencegahan korupsi, diperlukan rumusan bentuk dan
metode kerjasama yang dapat dilakukan dan mendorong perusahaan untuk melakukan
kerjasama dengan lembaga penegak hukum.
Perlu adanya
sosialisasi yang intensif tentang pedoman umum GCG, penyusunan code of conduct,
kaitan GCG dengan pencegahan korupsi, dan best practises dalam
penerapan GCG melalui berbagai media.
E. Struktur Organisasi dan Manajemen Perubahan
dalam Good Governance
Menurut Lukman Hakim
Saifuddin, (2004) good governance (G) di Indonesia adalah
penyelenggaraan peerintahan yang baik yang dapat diartikan sebagai suatu
mekanisme pengelolaan sumber daya dengan substansi dan implementasi yang
diarahkan untuk mencapai pembangunan yang efisien dan efektif secara adil. Oleh
karena itu, good governance akan tercipta di antara unsur-unsur negara
dan institusi kemasyarakatan (ormas, LSM, pers, lembaga profesi, lembaga usaha
swasta, dan lain-lain) memiliki keseimbangan dalam proses checks and
balances dan tidak boleh satu pun di antara mereka yang memiliki kontrol
absolute.
Pengembangan publil good
governance di Indonesia akan menunjuk pada sekumpulan nilai (cluster of
values), yang notabane sudah lama hidup dan berkembang di masyarakat
Indonesia. Sekumpulan nilai yang dimaksud tersebut adalah 11 (sebelas) nilai good
governance yakni (1) check and balances, (2) decentralization;
(3) effectiveness; (4) efficiency, (5) equity, (6) human
rights protection, (7) integrity, (8) participation, (9) pluralism,
(10) predictability, (11) rule of law, dan (12) transparency.
Pertanyaan yang
muncul kemudian dalam implementasinya adalah bagaimana mendekati,
mengidentifikasi, mengurai, dan mengupayakan pemecahan persoalan penegakan good
governance. Menurut Lukman Hakim, ada tiga faktor determinan pencapaian good
governance, yakni lembaga atau pranata (institutions/system), sumber
daya manusia (human factor), dan budaya (cultures).
Terkait dengan tiga
faktor determinan tersebut, pada subbab ini akan dibahas tentang lembaga atau
pranata, budaya dan sumber daya manusia dalam dua bagian, yaitu struktur
organisasi dalam good governance dan manajemen perubahan yang diperlukan
oleh organisasi.
1.
Struktur Organisasi dalam Good Governance
Globalisasi dan perkambangan informasi
akan mempercepat perubahan organisasi. Menurut Tulis (2000), perubahan terhadap
sumber daya manusia sebesar 10 persen saja dapat mengubah struktur organisasi,
selain perubahan ang disebabkan faktor teknologi, ekonomi, politik, dan sosial.
Praktik manajemen yang lama baik menyangkut struktur organisasi, personel, dan
tugas pokok, akan menyebabkan resistensi terhadap perubahan dan menyebabkan
sulitnya melakukan restrukturisasi organisasi dalam rangka mencapai efisiensi.
Dalam rangka menghadapi perubahan yang begitu cepat, maka beberapa hal yang
penting dilakukan adalah :
a.
Memelihara kesadaran yang tinggi akan urgensi
Perubahan besar dalam organisasi, baik
struktur dan budaya tidak akan pernah sukses bila organisasi tersebut cepat
puas. Kesadaran tinggi akan tingkat urgensi yaitu memahami hak yang mendesak
dan menempatkannya sebagai prioritas dalam menghadapinya, sangat membantu
proses mengatasi masalah dan langkah perubahan yang besar. Peningkatan fungsi
organisasi akan menyebabkan tingginya tingkat organisasi. Untuk memelihara
urgensi tingkat tinggi maka diperlukan sistem informasi manajemen yang
menyangkut sistem informasi akuntansi, untuk keuangan, sistem informasi sumber daya
manusia (SDM) untuk mengukur kinerja SDM, dan sistem informasi lain yang
diperlukan oleh organisasi. Sistem informasi ini akan menjamin kecermatan dan
kejelian data, sehingga data yang digunakan untuk pengambilan keputusan yang
valid.
b.
Penyusunan pranata organisasi
Misi dan tujuan setiap organisasi
sektor publik adalah memuaskan para pihak yang berkepentingan dengan pelayanan
publik serta melestarikan tingkat kepuasan masyarakat. Tanangan untuk mencapai
kepuasan adalah melalui mutu pelayanan yang prima atas pelayanan dan
kepercayaan publik. Permasalahan dalam peningkatan mutu ini pada birokrasi
terkendala dengan sumber informasi yang terbatas, tingkat pengetahuan aparat
yang tidak memadai, budaya birokrasi, dan pengambilan keputusan yang tidak efektif
karena delegasi wewenang yang tidak optimal serta tidak adanya insentif dan
berkorelasi dengan sistem penggajian.
Permasalahan dalam
penyusunan pranata organisasi adalah masalah keagenan, yaitu kebijaksanaan yang
salah dan berjalan terus-menrus, program yang tidak sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, serta pekerjaan yang tidak berkonstruksi terhadap pencapaian tujuan
organisasi. Singkatnya, tantangan utama dalam mendesain dan pengembangan
pranata organisasi pemerintah dan sistem nasional adalah mengoptimalkan
informasi pengambilan keputusan serta menciptakan sistem penggajian yang
sepadan dengan kinerja. Perbaikan sistem informasi dan sistem penggajian
berbasis kinerja ini akan meningkatkan mutu layanan dan kepercayaan publik.
c. Perubahan Struktur
Organisasi
Perubahan kondisi pasar, teknologi,
sistem sosial, regulasi, dan pelaksanaan Good Governance dapat
memengaruhi struktur pengembangan organisasi. Untuk perubahan struktur
organisasi perlu dilakukan analisis biaya dan manfaat terhadap pengaruh pelayanan
public terhadap organisasi melalui perubahan yang bersifat strategis.
Perubahan struktur
organisasi mencakup tiga unsur sebagai determinan, yaitu: (a) sistem pendapatan
wewenang, tugas pokok, fungsi dan tanggung jawab, (b) sistem balas jasa yang
sepadan, dan (c) sistem evaluasi indikator atau pengukuran kinerja untuk
individu dan unit organisasi.
Masalah utama dalam perubahan struktur
organisasi adalah meyakinkan diri bahwa pengambilan keputusan dan akuntabilitas
semua pihak yang berkepentingan terhadap organisasi mempunyai informasi dan
pengetahuan yang relevan mengambil keputusan yang baik dan benar serta adanya
insentif sepadan yang menggunakan informasi secara produktif dan terpercaya.
Perubahan lingkungan yang berpengaruh terhadap perubahan struktur
organisasi, biaya, dan manfaat langsung maupun tidak langsung harus dianalisis
secara cermat dan hati-hati.
Perubahan struktur organisasi sebelum GG dan sesudah GG
Sebelum GG
|
Sesudah GG
|
Struktur
bersifat :
1. Birokratik,
2. Multilevel
3. Disorganisasi dengan
manajemen
4. Kebijakan, program, dan
prosedur ruwet
|
Struktur
bersifat :
1. Nonbirokratik, sedikit
aturan
2. Lebih sedikit level
3. Manajemen berfungsi baik
4. Kebijakan, program dan
prosedur sederhana, tidak menimbulkan ketergantungan
|
Sistem
:
1. Tergantung pada beberapa
sistem informasi kinerja
2. Distribusi informasi
terbatas pada eksekutif
3. Pelatihan manajemen hanya
pada karyawan senior
|
Sistem
:
1. Tergantung pada sistem
informasi kinerja
2. Distribusi informasi luas,
3. Memberikan pelatihan kepada
karyawan yang membutuhkan
|
Budaya
Organisasi :
1. Orientasi ke dalam
2. Tersentralisasi
3. Lambat dalam pengambilan
keputusan
4. Realistis-idiologi
5. Kurang berani mengambil
keputusan
|
Budaya
Organisasi :
1. Orientasi ke luar
2. Memberdayakan sumber daya
3. Pengambilan keputusan cepat
4. Terbuka dan berintegrasi
5. Berani mengambil risiko
|
Dalam rangka pelaksanaan GG, makia
organisasi modern dapat melakukan :
1. Kesadaran yang
tinggi terhadap tingkat urgensi
2. Kerja sama tim
yang baik dalam tatanan staf dan manajemen
3. Bisa menciptakan
dan mengomunikasikan visi, misi, dan program dengan baik
4. Pemberdayaan semua
karyawan dengan memerhatikan minat dan bakat
5. Memberikan
delegasi wewenang dengan efektif
6. Mengurangi
ketergantungan yang tidak perlu, dan
7. Mengembangkan
budaya organisasi yang adaptif dan penggunaan analisis kinerja
2.
Manajemen Perubahan
Sesuai dengan
pertimbangan TAP MPR RI Nomor II/MPR/1999, masalah krisis multidimensi yang
melanda negara Indonesia merupakan penghambat perwujudan cita-cita dan tujuan
nasional. Reformasi di segala bidang, diharapkan dapat menjadi suatu langkah
penyelamatan, pemulihan, pemantapan dan pengembangan pembangunan serta
penguatan kepercayaan diri
Kemampuan para
pemimpin penyelenggara pemerintahan dan masyarakat yang mengelola perubahan
menjadi sangat krisis dan strategis, terutama sensitifitas dan responsibilitas
terhadap tanda dan waktu perubahan tersebut diperlukan, khususnya dalam langkah
penyelamatan, pemulihan, dan pengembangan. Ada dua hal yang perlu ditekankan
dalam manajemen perubahan, yaitu mengapa ada perubahan yang berhasil dan ada
yang gagal?
Perubahan yang gagal
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :
a.
Terlalu cepat puas
b.
Team work yang gagal
c.
Merumuskan visi, misi, dan program dengan kurang tepat
d.
Gagal menciptakan harapan sukses kepada seluruh anggota organisasi
e.
Menganggap perubahan sudah selesai dan hanya sekali memerlukan perubahan, dan
f.
Tidak bisa mengubah symbol, nilai, sikap dan norma organisasi dari yang lama
menjadi budaya yang baru dalam organisasi.
Untuk mengurangi
kegagalan dalam perubahan budaya organisasi, maka harus dihilangkan atau
dikurangi dampak negatif dari perubahan seperti bubarnya organisasi, kehilangan
pasar dan kepuasaan pelanggan, penurunan gaji dan harus dikikis dengan
menjelaskan mengapa organisasi perlu mengadakan perubahan, bagaimana tahap
perubahan, bagaimana hasil akhir dari perubahan, dan bagaimana peran serta dari
setiap anggota organisasi dalam perubahan. Untuk mencapai keberhasilan dalam
perubahan, ada beberapa hal yang diperlukan, yaitu :
1.
Menetapkan strategi, pentingnya, dan tahapan perubahan
2.
Mengembangkan semangat kerja sama tim yang tinggi
3.
Mengembangkan strategi komunikasi untuk menyampaikan visi, misi, program
perubahan, sehingga anggota dapat termotivasi, dan
4.
Memberdayakan setiap anggota organisasi sesuai dengan kompetensi minat, dan
bakat.
F. Good Governance dalam
Kerangka Otonomi Daerah
Upaya pelaksanaan
tata pemerintahan yang baik, UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
merupakan salah salu instrumen yang merefleksikan keinginan Pemerintah unluk
melaksanakan tata pemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Hal ini dapat dilihat dari indikator upaya penegakan hukum,
transparansi dan penciptaan partisipasi. Dalam hal penegakan hukum, UU No. 32
Tahun 2004 telah mengatur secara tegas upaya hukum bagi para penyelenggara
pemerintahan daerah yang diindikasikan melakukan penyimpangan.
Dari sistem
penyelenggaraan pemerintahan sekurang-kurangnya terdapat 7 elemen
penyelenggaraan pemerintahan yang saling mendukung tergantung dari bersinergi
satu sarna lainnya, yaitu :
1. Urusan Pemerintahan;
2. Kelembagaan;
3 Personil;
4. Keuangan;
5. Perwakilan;
6. Pelayanan Publik dari
7. Pengawasan.
Ketujuh elemen di
atas merupakan elemen dasar yang akan ditata dari dikembangkan serta
direvitalisasi dalam koridor UU No. 32 Tahun 2004. Namun disamping penataan
terhadap tujuan elemen dasar diatas, terdapat juga hal-hal yang bersifat
kondisional yang akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari grand strategi
yang merupakan kebutuhan nyata dalam rangka penataan otonomi daerah di
Indonesia secara keseluruhan yaitu penataan Otonomi Khusus NAD
dari Papua, penataan daerah dari
wilayah perbatasan , serta pemberdayaan masyarakat.
Setiap elemen
tersebut disusun penataannya dengan langkah-langkah menyusun target ideal yang
harus dicapai, memotret kondisi senyatanya dari mengidentifikasi gap yang ada
antara target yang ingin dicapai dibandingkan kondisi rill yang ada saat ini.
Meskipun dalam
pencapaian Good Governance rakyat sangat berperan, dalam pembentukan peraturan
rakyat mempunyai hak untuk menyampaikan aspirasi, namun peran negara sebagai
organisasi yang bertujuan mensejahterakan rakyat tetap menjadi prioritas. Untuk
menghindari kesenjangan didalam masyarakat pemerinah mempunyai peran yang
sangat penting. Kebijakan publik banyak dibuat dengan menafikan faktor rakyat
yang menjadi dasar absahnya sebuahnegara. UU no 32 tahun 2004 yang memberikan
hak otonami kepada daerah juga menjadi salah satu bentuk bahwa rakyat diberi
kewenangan untuk mengatur dan menentukan arah perkembangan daerahnya sendiri.
Dari pemilihan kepala daerah, perimbangan keuangan pusat dan daerah (UU no 25
tahun 1999). Peraturan daerah pun telah masuk dalam Tata urutan peraturan
perundang - undangan nasional (UU no 10 tahun 2004), Pengawasan oleh
masyarakat.
Sementara itu dalam
upaya mewujudkan transparansi dalam penyelenggaran pemerintahan diatur dalam
Pasa127 ayat (2), yang menegaskan bahwa sistem akuntabilitas dilaksanakan
dengan kewajiban Kepala Daerah untuk memberikan laporan penyelenggaraan
pemerintahan daerah kepada Pemerintahan, dan memberikan laporan keterangan
pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan
pemerintahan daerah kepada masyarakat.
Sistem akuntabilitas
semacam ini maka terdapat keuntungan yang dapat diperoleh yakni, akuntabilitas
lebih dapat terukur tidak hanya dilihat dari sudut pandang politis semata. Hal
ini merupakan antitesis sistem akuntabilitas dalam UU No. 22 Tahun 1999 dimana
penilaian terhadap laporan pertanggungjawaban kepala daerah oleh DPRD
seringkali tidak berdasarkan pada indikator-indikator yang tidak jelas. Karena
akuntabilitas didasarkan pada indikator kinerja yang terukur,maka laporan
keterangan penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak mempunyai
dampak politis ditolak atau diterima.
Dengan demikian maka stabilitas penyelenggaraanpemerintahan daerah dapat lebih
terjaga.
Masyarakat memiliki
hak untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Pelaksanaan pengawasan oleh masyarakat dapat dilakukan oleh masyarakat sebagai
perorangan, kelompok maupun organisasi dengan cara: Pemberian informasi adanya
indikasi terjadinya korupsi, kolusi atau nepotisme di lingkungan pemerintah
daerah maupun DPRD. Penyampaian pendapat dan saran mengenai perbaikan,
penyempurnaan baik preventif maupun represif atas masalah.
Informasi dan
pendapat tersebut disampaikan kepada pejabat yang berwenang dan atau instansi
yang terkait. Menurut Pasal 16 Keppres No. 74 Tahun 2001, masyarakat berhak
memperoleh informasi perkembangan penyelesaian masalah yang diadukan kepada
pejabat yang berwenang. Pasal tersebut berusaha untuk memberikan kekuatan
kepada masyarakat dalam menjalankan pengawasan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
uraian–uraian dari bab–bab sebelumnya maka penulis mengambil kesimpulan yaitu:
1.
Pemerintahan yang baik tidak di lihat dari sistem yang berbuat
atau rancanggan undang-undang yang di rumuskan, melainkan suatu sikap yang
pasti dalam menangani suatu permasalahn tanpa memandang siapa serta mengapa hal
tersebut harus di lakukan.
2.
Good Governance merupakan
pengertian dalam hal yang luas sehingga untuk memberikan arti serta defenisi
tidak semudah mengartikan kata perkata melainkan perlunya aspek –aspek serta
pemikiran yang luas menyangkut bidang tersebut.
3.
Perlunya pengertian menggenai aspek-aspek dalam Good
Governance sehingga tidak ada kesalahan dalam
aplikasinya.
4.
Penerapan Good Governance dalam sistem kepemerintahan saat ini sangat di perlukan
karena peranan perintah dalam memajukan suatu negara sangatlah besar.
B.
Saran
Atas kesimpulan di
atas, penulis mengemukakan beberapa saran untuk membenahi kelemahan-kelemahan
dalam penegakkan prinsip good governance di Indonesia yaitu:
1.
Integritas dan nilai etika perlu ditingkatkan atau
dikomunikasikan dengan perilaku yang terbaik dan melibatkan pihak terkait.
Karena sebaik apapun desain sebuah pengawasan tidak akan terlaksana dengan
efektif, efisien dan ekonomis jika dilaksanakan oleh orang-orang yang memiliki
integritas dan nilai etika yang rendah.
2.
Kinerja Inspektorat atau pengendalian intern perlu terus
ditingkatkan meskipun penulis mengusulkan sektor publik, namun itu bukan
berarti mengabaikan sektor pengawasan intern.
DAFTAR PUSTAKA
http://pksm.mercubuana.ac.id/new/elearning/files_modul/99011-12-466363723031.doc
http://www.alisjahbana08.wordpress.com/page/22/
http://www.bangka.go.id/artikel.php?id_artikel=7
http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=1067
http://www.scribd.com/doc/52568330/Good-Governance
http://www.scribd.com/document_downloads/direct/52568330?extension=docx&ft=1322794393<=1322798003&uahk=I7OI11/oFO1Qz582ultXVVmvKbU
+ komentar + 3 komentar
Maaf, apakah makalah ini di presentasikan atau ada file pdf nya? saya membutuhkan makalah ini untuk dijadikan referensi. terimakasih banyak
blog apa ini masak kekurangan dan kelebihannya gakada .. ehhh sempak
Sorry bagi tips...copy paste aja.
(Download clip stack di playstore).
Posting Komentar