Satu Tulisan Pendek Atas Lima Puisi Panjang
Posted on March 26, 2012
—Sutardji Calzoum Bachri, Penyair
Tentu saja puisi tidak hanya
mengandung puitika. Ia juga bisa mengandung kisah, sikap, opini, argumentasi,
esai. Sajak-sajak Rendra, TS eliot, Pablo Neruda mengesankan adanya hal itu.
Juga misalnya larik-larik semacam milik Chairil Anwar ini: “Kalau sampai
waktuku/ Ku mau tak seorang kan merayu, dst.” opini dan eksprei puitik saling
menyatu. Bibit esai bisa muncul di kepala dan hati pembacanya merenungkan:
apakah hidup, apakah makna hidup seribu tahun lagi?
Imajinasi (puisi) berinteraksi
dengan fakta. Ilham puisi tidak muncul dari langit kekosongan lantas jatuh di
atas kertas putih kosong di hadapan penyair.
Menulis puisi adalah merespons
fakta-fakta kehidupan, ayat-ayat kehidupan/peristiwa yang telah tertuliskan.
Puisi tidak ditulis di atas kertas kosong. Menulis puisi adalah menulis di atas
tulisan. Mempertebal, menggarisbawahi tulisan kehidupan/peristiwa/makna yang
telah ada atau yang sedang terjadi. Puisi yang mempertebal tulisan kehidupan
adalah puisi yang melawan lupa. Puisi sosial atau puisi perlawanan lazimnya
sering bisa dimasukkan dalam jenis ini. Di sisi lain, menulis adalah upaya
untuk menutup atau melupakan ayat kehidupan yang ada. Puisi yang untuk melupa.
Puisi semacam ini misalnya, kalau menulis kata “kuda” ada maksudnya untuk
menutup atau melupakan kuda yang ada dalam kehidupan dan yang di kamus.
Puisi atau imajinasi bisa
sewenang-wenang terhadap fakta sebagaimana sewenang-wenangnya kata terhadap
maknanya. Ia bisa melecehkan fakta demi meraih kepuisiannya. Faktanya, bagi
masyarakat umum, tak ada bulan di malam lebaran, kecuali bagi pengamat yang
memang diniatkan bisa melihatnya sepintas di langit. Tapi Sitor Situmorang
menuliskan puisinya: “Malam Lebaran/ Bulan di atas kuburan”.
Ada penyair atau puisi yang
menggunakan keutuhan fakta untuk memperkuat konstruksi puitika. Dan ada penyair
(puisi) yang menutup atau menyelewengkan fakta juga demi memperkuat puitika
sajaknya.
Tentu saja itu dua ekstremitas.
Dalam praktek dua kecenderungan itu saling berbaur.
Kelima karya Denny JA ini terilhami
dari peristiwa-peristiwa/fakta yang telah terjadi/telah tertuliskan. Ini bukan
puisi yang saya sebutkan tadi, kalau menulis kata “kuda” malah berniat menutup
atau melupakan kuda yang ada dalam fakta sehari-hari dan kamus.
Pengarangnya menyebut karya-karyanya
“puisi esai”. Saya, sebagai pembaca, pertama-tama memandangnya sebagai puisi.
Jika nanti di dalamnya ada ihwal-ihwal yang terasa sebagai esai, maka itu adalah
nilai plus dari persajakan ini. Boleh dikata semua sajak ini mengandung tema
perlawanan yang beragam dari manusia sebagai individu. Antara lain perlawanan
terhadap kemiskinan, perlawanan terhadap diskriminasi, perlawanan dari cinta.
Sajak-sajak dituturkan secara
naratif dengan tokoh sentral orang kedua tunggal “dia lirik” atau orang pertama
“aku lirik” dengan bait demi bait yang padat dengan perhitungan (restraint)
sambil memanfaatkan peralatan puitika yang tercipta dari pertemuan larik,
aliran irama dan bunyi kata-kata
“Sapu Tangan Fang Yin” adalah kisah
perlawanan Fang Yin ke dalam, terhadap diri sendiri. Tidak seperti beberapa
sajak lainnya, mengisahkan perlawanan ke luar, terhadap orang lain, Fang Yin
yang disibukkan dengan deritanya sendiri sebagai korban kekerasan dan
perkosaan, membenci Indonesia, akhirnya bisa melihat sisi positif Indonesia,
dan mulai mencintai negeri itu. Ya, kisah perjalanan jatuh cinta pada Indonesia
setelah sebelumnya melalui berbagai derita, benci dan kerinduan. Di Jakarta Fang
Yin diperkosa, ditinggalkan pacar, mengungsi ke Amerika, setelah 13 tahun,
ingin kembali ke Indonesia.
Klimaks kisah ditampilkan dengan
Fang Yin membakar sapu tangan —lambang cinta— pemberian kekasihnya. Kenangan
cinta lama dibakar dengan munculnya rasa cintanya terhadap Indonesia yang
dulu pernah dibencinya.
Kisah dituturkan lewat bait demi
bait yang cukup mantap perhitungan, tidak tergesa-gesa dan berakhir menjadi
sajak panjang. Begitulah kesan yang saya dapatkan dari lima sajak-sajak ini.
Dalam semua sajak, hampir setiap larik seakan cenderung diperhitungkan adanya
padanan sama atau hampir sama dari jumlah suku kata dan rima sehingga kesan
puitik bisa diraih.
Bait dengan irama yang ada di
dalamnya banyak membantu untuk mendapatkan pesona dalam membacanya, meski tidak
ada ledakan-ledakan metafora, simile atau yang lainnya, yang seperti
sering didapatkan dari sajak-sajak Rendra. Dan itu mungkin tak perlu, karena
mood pada sajak-sajak ini diarahkan pada perenungan yang tenang, pertimbangan
pikiran yang memang sering kita jumpai pada esai.
Kadang, metafora yang biasanya
menyimpan banyak makna tidak sekali diungkapkan agar tercapai tambahan
kandungan makna serta kejelasan, seperti halnya ketika penggambaran suasana
“sapu tangan terbakar”: “Dan tanpa pikir panjang, ia bakar sapu tangan itu;/
Api menyala, sapu tangan terbakar/ Ia melihat seluruh dirinya yang
lama menjadi abu./ Masa silam terbakar,/ Derita panjang ikut terbakar,/
Cinta pada Kho terbakar/ Cemburu pada Rina pun lenyap terbakar./ Dan kemarahan
pada Indonesia?/ Terbakar sudah bagai ritus penyucian diri”. Apa yang ingin
saya utarakan di sini, penyair sangat mengandalkan kejelasan, seperti seorang
yang menulis esai atau makalah cenderung menjauhi ungkapan gelap dan dubious.
Setelah membenci Indonesia dan 13
tahun tinggal di Amerika, kini “Indonesia masuk lagi dalam kalbunya/ Seperti
nyiur yang melambai-lambai/ …Kini ia ingin pulang ia meraih makna baru tentang
Indonesia: “Kini ingin pulang, rindunya membara/ Ia ingin Indonesia seperti
dirinya: menang melawan masa lalu/ Musibah dan bencana datang tak terduga/ Yang
penting harus tetap punya mimpi./…Ini Indonesia baru, katanya, kata mereka”.
Itulah sebagian larik-larik penghujung dari sajak esai ini. Dalam sajak ini,
puisi, rasa esai dan mimpi saling bertautan.
Sebagaimana kisah cinta Romeo dan
Juliet memiliki latar konflik penghalang, pada “Romi dan Yuli dari Cikeusik ada
konflik antara “Muslim garis keras” dan pengikut Ahmadiyah. Kisah dituturkan
—sebagaimana puisi-puisi yang lain— dengan kemampuan ungkapan padat,
dengan irama dan rima dari larik yang diperhitungkan, mencoba membawa pembaca
asyik pada kisah yang disampaikan. Mungkin karena ini kisah cinta dan konflik
agama hanya sekadar latar maka kayaknya tak perlulah pembaca mendapatkan
pemahaman yang mencerahkan dari argumen dari kedua belah pihak. Cukup saja
diutarakan dengan larik-larik begini: “Romi pun bercerita,/ Ahmadiyah itu
Bla…bla…bla…/ Ra…ra…ra…/ Ra…ri…ru…/ Mereka dituding sesat karena Bla…bla…”.
Di bait lain: “Ayah Yuli berteriak mengatakan,/ Ahmadiyah telah menyimpang
dari Islam yang benar. Ajarannya sudah dinyatakan sesat/ Dalam agama berlaku
prinsip/ Bla…bla…bla…/ Ra…ra…ra…” Dan di bait berikutnya: “Yuli mencoba
menjawab,/ Ahmadiyah itu Islam juga/ Karena Ta…ta…ta…/ La…la…la…”. Seingat
saya Rendra pernah menuliskan pengucapan semacam ini. Ini memang salah satu
ungkapan khas pengucapan puisi. Ia bisa menambah kadar puitis yang mungkin
dalam konteks esai bisa menimbulkan kekaburan.
Puisi berakhir dengan kemenangan
cinta. Orangtua Juli mengalah. Tapi Juli keburu mati sebelum tahu ia dibolehkan
menikah dengan pria idamannya. Kayaknya penyair tak tega atau menyadari
“realistis bijak”. Seakan terasa dengan dimatikan Juli puisi bersikap memihak “win-win
solution”.
Tapi apakah yang namanya menang bagi
puisi? Puisi bisa menang langsung, sekarang, ini waktu, saat seseorang
membacanya. Ia tidak memerlukan waktu akan datang untuk menang. Setiap saat
seseorang terpesona membaca atau mendengar pembacaan sajak maka puisi itu
menang. Para pejuang sosial menggunakan puisi karena mereka tidak perlu
menunggu lama untuk memenangkan pertarungan. Daya pukau puisi, menyebabkan
suatu kebenaran yang masih diragukan, menjadi terasa mantap, seakan-akan
kemenangan nyata (faktual) yang mungkin harus ditunggu puluhan tahun. Tentu
saja puisi mempunyai perjuangannya sendiri yakni perjuangan estetika yang
sering dialami para pembaharu puitika. Tapi ini tidak relevan dalam konteks
tulisan ini.
Kemenangan faktual dan kemenangan
puitikal adalah dua hal yang berbeda. Ketika yang faktual ingin masuk alam
domain puisi ia harus tunduk dalam hukum hukum puisi yang sering tak bisa
ditetapkan secara jelas. Maka segala data fakta yang dimasukkan ke dalam daerah
puisi belum tentu efektif membikin mesin puitika bekerja secara maksimal. Cara
yang lazim meletakkan data-data atau info-info ke dalam catatan kaki —seperti
yang sering tampak dalam sajak-sajak Denny— sehingga mekanisme puisi bisa
bekerja bebas maksimal.
Dalam “Minah Tetap Dipancung”
dikisahkan perlawanan Minah mengubah nasib, melawan kemiskinan, melawan demi
mempertahankan integritas. Juga sebagaimana sajak-sajak yang lain —ditulis
dalam bait-bait yang jelas terang. Meski Minah dikesankan sebagai perempuan
desa yang lugu namun ia punya bakat bisa protes/melawan: “Kamu korupsi ya?/
Kamu moroti kami ya?” katanya kepada pegawai perusahaan tenaga kerja.
Ketika ia berkali-kali diperkosa majikan, perlawanannya berbuah dengan
terbunuhnya majikan.
Kebanyakan para tokoh korban dalam
puisi digambarkan lebih berpikiran luas, lebih toleran dan bersikap ingin
memahami “pihak lawan”-nya. Fang berhasil memahami Indonesia yang dahulu
dibencinya. Dewi toleran nikah dengan pria pilihan orang-tuanya. Amir menikah
dengan gadis pilihan ibunya. Hanya Juli yang keras kepala, tidak bisa
memberikan toleransi terhadap orang-tuanya. Sedangkan Minah yang perempuan desa
itu tak cukup memiliki info untuk bisa berusaha memahami budaya yang
dihadapinya.
Pihak lawan digambarkan sebagai
sosok yang keras, kaku, fanatik, tidak toleran. Tidak fair? Mana ada puisi
netral apalagi kalau ia berlabel perlawanan.
Memberikan data faktual sebagai
bukti agar puisi fair adalah upaya untuk mengontrol imajinasi agar menjadi
fair, menjadi sebagai esai. Kelima puisi ini bisa berhasil karena memang sudah
diniatkan sebagai esai. Di tangan penyair lain yang tak berniat demikian, fakta
yang sama bisa terasa lain. Imajinasi adalah raja: “can do no wrong”.
Fakta besar di alam nyata bisa diciutkan bahkan dihilangkan dalam imajinasi,
fakta sepele bisa jadi besar. Sinar besar dari matahari fakta bisa ditutup oleh
sebuah larik mungil yang jadi.
Sama dengan sajak-sajak lain, “Cinta
Terlarang Batman dan Robin” dan “Bunga Kering Perpisahan” diguratkan dengan
penuturan bahasa yang jernih, lancar, dengan rima dan irama yang cukup terjaga.
“Cinta Terlarang Batman dan Robin paling kental rasa esainya dibanding
sajak-sajak yang lain. Dalam “Bunga Kering Perpisahan” lagi-lagi maut dipakai
penyairnya untuk menutup persoalan atau “mendamaikan” perasaan. “Minah Tetap
Dipancung”, bagi saya sangat minim rasa esainya.
Semua puisi ini bisa disebut “puisi
lintas batas”. Ia bisa dibaca sebagai prosa, dalam pemaknaan yang positif.
Jelas dan pasti bait-bait, irama, rima, metafora serta ungkapan-ungkapan
lainnya menjadikan lima karya ini benar karya puisi. Tapi karena peralatan
puitika itu digunakan tidak secara ekstrem, nekad, berlebihan dan tidak
spekulatif (seperti halnya dalam sebagian sajak-sajak Rendra), maka peralatan
puitik itu bukan hanya tidak mengganggu kalau puisi ini dibaca sebagai prosa,
tapi malah memberikan nuansa khas bagi kekayaan suasana cerita.
Bagi saya, puisi esai adalah puisi
pintar. Yang dengan berbagai data, fakta, argumentasi, bisa memberikan
kepintaran bagi pembacanya untuk memahami dan menghayati persoalan-personal
yang terkait dengan masalah atau konflik sosial.
Kalau ada puisi pintar tentu ada
puisi bodoh. Puisi bodoh adalah puisi yang meng-elaborate ekspresi primitif
bahkan animalistik untuk mendapat sisi manusia yang bebas intens. Bila puisi
pintar dengan “seribu data” memberikan pemahaman tentang kasus-kasus konflik
sosial, puisi bodoh dengan ekspresi “kebinatangan-jalang”-nya ingin mengajak
pembaca hidup sepadat seribu tahun.
Bagi saya, baik puisi pintar maupun
puisi bodoh adalah berkah yang bisa memberikan kecerdasan kreatif dalam
dedikasinya pada khazanah perpuisian Indonesia.
Posting Komentar