BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Metodologi adalah
alat untuk memperoleh kebenaran. Dalam rangka mencari kebenaran itu diperlukan
pendekatan (logic of explanation dan logic of discovery), berikut teknis-teknis
operasionalnya. Dalam khazanah
filsafat Islam, dikenal ada tiga buah metodologi pemikiran, yakni bayani,
irfani dan burhani. Bayani adalah sebuah model metodologi berpikir berdasarkan
teks. Irfani adalah model metodologi berpikir yang didasarkan atas pendekatan
dan pengalaman langsung (direct experience) atas realitas spiritual keagamaan..
Burhani adalah model metodologi berpikir yang tidak didasarkan atas teks maupun
pengalaman, melainkan atas dasar keruntutan logika.
Pemikiran
keislaman membutuhkan pendekatan Bayani, Irfani dan Burhani, sesuai dengan
obyek kajiannya --apakah teks, ilham atau realitas. Pada tahap tertentu, keberadaan teks suci dan
pengalaman spiritual bahkan hanya dapat diterima jika sesuai dengan aturan logis
Maka makalah ini menggambarkan secara singkat tiga epistomologi
Islam tersebut yang dirumuskan oleh pemikir muslim kontemporer Muhammad Abid
al-Jabiry dan bagaimana
perbandingan ketiganya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi
epistimologi ?
2. Siapakah Muhammad Abid
al-Jabiry ?
3. Bagaimanakah
epistimologi Bayani ?
4. Bagaimanakah
epistimologi Irfani ?
5. Bagimanakah
epistimologi Burhani ?
6. Bagaimana perbandingan
Epistimologi Bayani, Irfani, dan Burhani ?
7.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Epistimologi
Epistemologi adalah cabang filsafat
yang secara khusus membahas teori ilmu pengetahuan. Epistemologi berasal dari
bahasa Yunani, episteme, yang berarti pengetahuan.[1]
Pengetahuan adalah semua yang diketahui.[2]
Epistemologi menjangkau permasalahan-permasalahan yang membentang seluas
jangkauan metafisika, selain itu ia merupakan hal yang sangat abstrak dan
jarang dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari.[3]
Dalam dunia pemikiran, epistemologi
menempati posisi penting, sebab ia menentukan corak pemikiran dan pernyataan
kebenaran yang dihasilkannya. Bangunan dasar epistemologi berbeda dari satu
peradaban dengan yang lain.[4]
Perbedaan titik tekan dalam epistemologi memang besar sekali pengaruhnya dalam
konstruksi bangunan pemikiran manusia secara utuh. Pandangan dunia manusia akan
terpengaruh bahkan dibentuk oleh konsepsinya tentang epistemologi.[5]Oleh
karena itu perlu pengembangan empirisme dalam satu keutuhan dimensi yang
bermuatan spiritualitas dan moralitas. Sehingga diharapkan epistemologi Islami
akan lahir dan memberi jawab atas kegelisahan umat dewasa ini.[6]Sehubungan
dengan masalah tersebut maka di sini akan dibahas tentang epistemologi Islam
yang digagas oleh Muhammad Abid al-Jabiri, seorang cendekiawan muslim yang kini
banyak dirujuk oleh cendekiawan muslim Indonesia.
B.
Sekilas Biografi Muhammad Abid Al
Jabiri.
Muhammad Abid Al Jabiri adalah dosen
filsafat dan pemikiran Islam di Fakultas Sastra, Universitas Muhammad V, Rabat,
Maroko. Dilahirkan di Figuig, Maroko Tenggara, tahun 1936. Beliau pertama kali
masuk sekolah agama, kemudian sekolah swasta nasional (madrasah hurrah
wathaniah) yang didirikan oleh gerakan kemerdekaan. Dari tahun 1951-1953,
beliau belajar disekolah lanjutan setingkat dengan SMA milik pemerintahan
Casablanca. Melanjutkan pendidikan sekolah
tingginya setingkat diploma pada Sekolah Tinggi Arab dalam bidang Ilmu
Pengetahuan (science section). Pada tahun 1959 Al-Jabiri memulai studi filsafat
di Universitas Damaskus, Syria, tetapi satu tahun kemudian beliau masuk di
Universitas Rabat. Pada tahun 1967 beliau menyelesaikan ujian Negara dengan
tesisnya yang berjudul, “The Philosophy of History of Ibn Khaldun” , (filsafat
al-tarikh ‘inda Ibn Khaldun dibawah bimbingan M. Aziz Lahbabi). Dan
menyelesaikan program doktornya pada almamater yang sama pada tahun 1970,
dengan disertasi berjudul “Fikr Ibn Khaldun al-Asabiyyah wa ad-Daulah: Ma’alim
Nazariyyah Khalduniyyah fi at-Tarikh al-Islami” (Pemikiran Ibn Khaldun.
Asabiyah dan Negara: Rambu-Rambu Paradigmatik Pemikiran Ibn Khaldun dalam
Sejarah Islam).[7]
Pada decade 50-an, ketika masih
kuliah di Universitas Muhammad V, Jabiri banyak membaca dan mempelajari ajaran
Marxisme yang memang tumbuh subur di dunia Arab saat itu. A-jabiri
mengakses buku atau pemikiran berbahasa Prancis, termasuk pemikiran kaum
strukturalis. post-strukturalis maupun post-modernis yang rata-rata lahir
di Prancis. Akan tetapi Ia kemudian meragukan efektifitas pendekatan Marxian
dalam konteks sejarah pemikiran Islam.
A-Jabiri
mulai meneliti tentang kebudayaan dan pemikiran Islam. Namun, dalam hal ini dia
membatasi diri hanya pada Islam-Arab, pada teks-teks yang ditulis dengan bahasa
Arab. Ia juga
membatasi diri pada persoalan epistemologi, yakni mekanisme berfikir yang
mendominasi kebudayaan Arab dalam babak-babak tertentu. Proyek al-Jabiri yang
sangat monumental adalah Naqd al-‘Aql al-‘Arabi (kritik nalar arab). Literature-literatur
yang digelutinya adalah literatur klasik berbahasa Arab dan lahir dalam
lingkungan geografis, cultural, dan social-politik masyarakat Arab.[8]
Dalam buku tersebut al-Jabiri menjelaskan,
bahwa apa yang dikatakan oleh teks dan apa yang tidak dikatakan (not-said),
dalam pandangannya, merefleksikan ketegangan antara beberapa jenis nalar yang
muncul saat itu. Dan ini penting bagi al-Jabiri yang ingin menjadikan teks
tersebut sebagai titik tolak bagi kemunculan apa yang disebutnya sebagai nalar
bayani, ‘irfani dan burhani. Kritik nalar Arab ini terbagi atas dua seri, seri
pertama yang berjudul “Takwin al-‘Aql al-‘Arabi”, Muhammad Abid al-Jabiri
mengkonsentrasikan analisisnya pada proses-proses histories, baik
epistemologis, maupun ideologis, yang memungkinkan terbentuknya nalar-nalar
bayani, ‘irfani, dan burhani, termasuk interaksi diantara ketiga nalar tersebut
beserta kritis-kritis yang menyertainya.
Sementara pada Bunyah al-‘Alq al-Arabi,seri
yang kedua, ia berupaya menyingkap struktur internal masing-masing ketiga nalar
ini, lengkap dengan segenap basis epistemologinya. Bahwa nalar yang kita terima
saat ini yang kita pakai untuk menafsirkan, menilai, dan memproduksi
pengetahuan, adalah nalar yang tidak pernah berubah sejak awal diresmikan dari
masa tadwin
Di
penghujung abad pertama hijriyah, telah terjadi, pemindahan ilmu-ilmu kuno dari Iskandaria ,
pusat perkembangan filsafat Herlmes ke dalam kebudayaan islam Kehadiran
ilmu-ilmu nonArab ini mengundang antipasti ulama ahlu assunnah aqal karena
dianggap bertentangan dengan akidah islam. Ilmu-ilmu masuk melalyui
penterjemahan.Arab.Menurut Aljabirim bahwa gerakan penterjemahan
yang diserukan pada zaman al ma’mun adalah tonggak sejarah pertemuan antara
pemikiran keagamaan Arab, dan pemikiran Rasioanal Yunani, pertemuan antara
epistimologi bayani Arab dan epistimologi burhani Yunani. .[9]
C. Epistemologi Bayani
1. Pengertian Bayani
Secara etimologi, Bayan berarti
penjelasan (eksplanasi). Al-Jabiri berdasarkan beberapa makna yang diberikan
kamus lisan al Arab mengartikan sebagai al fashl wa infishal (memisahkan dan
terpisah) dalam kaitannya dengan metodologi dan al dhuhur wa al idhar (jelas
dan penjelasan) berkaitan dengan visi dari metode bayani.[10]
Sementara itu, secara terminology
bayan mempunyai dua arti (1) sebagai aturan penafsiran wacana, (2) sebagai
syarat-syarat memproduksi wacana. Berbeda dengan makna etimologi yang telah ada
sejak awal peradaban Islam, makna etimologis ini baru lahir belakangan, yakni
pada masa kodifikasi (tadwin). Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang
menekankan otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung. Secara
langsung artinya memahiami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung
mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung berarti
memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski
demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan
maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks.
2. Perkembangan Bayani
2. Perkembangan Bayani
Pada masa Syafi’i (767-820 M),
bayani berarti nama yang mencakup makna-makna yang mengandung persoalan
ushul/pokok dan yang berkembang hingga ke furu’ atau cabang. Dari segi
metodologi, Syafi’i membagi bayan dalam lima bagian dan tingkatan, yaitu: 1)
Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut berkenaan dengan sesuatu yang telah
dijelaskan Tuhan dalam al Qur’an sebagai ketentuan bagi makhlukNya, 2) Bayan
yang beberapa bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah, 3) Bayan
yang keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah, 4) Bayan
sunnah sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al Qur’an, 5)
Bayan Ijtihad yang dilakukan dengan Qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat
dalam al Qur’an maupun sunnah. Dari lima derajat bayan tersebut, Syafi’I
kemudian menyatakan bahwa yang pokok ada tiga yaitu al Qur’an, sunnah dan qiyas,
kemudian ditambah ijma.[11]
Al-Jahizh (868 M) mengkritik konsep
Syafi’i di atas. Menurutnya, apa yang dilakukan Syafi’i baru pada tahap
bagaimana memahami teks, belum pada tahap bagaimana memberikan pemahaman pada
pendengar atas pemahaman yang diperoleh. Padahal, menurutnya inilah yang
terpenting dari proses bayani. Karena itu, sesuai dengan asumsinya bayan adalah
syarat syarat untuk memproduksi wacana dan bukan sekedar aturan aturan
penafsiran wacana. Jahizh menetapkan lima syarat bagi bayani yaitu :
1.
kefasihan ucapan,
2.
seleksi huruf dan lafat,
3.
adanya keterbukaan makna,
4.
adanya kesesuaian antara kata dan
makna,
5.
adanya kekuatan kalimat untuk
memaksa lawan kebenaran yang disampaikan dan mengakui kelemahan serta kesalahan
konsepnya sendiri.
Sampai disini, bayani telah
berkembang jauh. Ia tidak lagi sekedar penjelas atas kata kata sulit dalam
al-Qur’an tetapi telah berubah menjadi sebuah metode bagaimana memahami sebuah
teks, Membuat kesimpulan atasnya, Kemudian memberikan uraian secara sistematis atas
pemahaman tersebut kepada pendengar bahkan sebagai alat untuk memenangkan
perdebatan. Akan tetapi, Apa yang ditetapkan jahiz pada masa berikutnya
dianggap kurang tetap dan sistematis. Menurut Ibnu Wahab, Bayani bukan
diarahkan untuk mendidik pendengar tetapi sebuah metode untuk membangun konsep
ashul furu’ caranya dengan menggunakan paduan pola yang dipakai ulama fikih dan
kalam.
Paduan antara metode fikih yang
eksplanatoris dan theology yang dialektik dalam rangka membangun epistemology
bayani baru ini sangat penting, Karena menurutnya apa yang perlu penjelasan
tidak hanya teks suci tetapi mencakup 4 hal yaitu :
1.
Wujud materi yang mengandung aksiden
dan subtansi,
2.
Rahasia hati yang member keputusan
bahwa sesuatu itu benar-salah dan subhat, saat terjadi proses perenungan,
3.
Teks suci dan ucapan yang mengandung
banyak dimensi,
4.
Teks-teks yang merupakan
representasi pemikiran dan konsep.
Dari 4 macam obyek ini Ibnu Wahab menawarkan 4
macam bayani yaitu:
1) Bayan Al itibar,
2) Bayan Al itiqod,
3) Bayan Al ibaroh,
4) Bayan Al-kitab
Pada periode terakhir , muncul
alsyatibi ( 1388 M ) menurutnya , sampai sejauh itu bayan belum bisa memberikan
pengetahuan yang pasti (qoth’i) tapi baru derajat dugaan ( dhzon) sehingga
tidak bisa di pertanggung jawabkan secara rasional. Dua teori utama dalam
bayani yaitu istinbat dan qiyas hanya berpijak pada sesuatu yang masih bersifat
dugaan. Oleh karena itu Al-Syatibi menawarkan 3 teori yaitu : 1) Al-istintaj,
2) Al-isthiqro’, 3) Al-maqosid asyari’.
3. Metode Bayani
Untuk mendapatkan pengetahuan,
epistemologi bayani menempuh dua jalan. Pertama berpegang pada redaksi teks
dengan menggunakan kaidah bahasa Arab. Kedua, menggunakan metode qiyas (analog)
dan inilah prinsip utama epistemologi bayani. Dalam kajian ushul fikih, qiyas
diartikan memberikan keputusan hukum suatu masalah berdasarkan masalah lain
yang telah ada kepastian hukumnya dalam teks, Karena adanya kesamaan illah. Ada
beberapa hal yang harus dipenuhi dalam melakukan qiyas: 1) Adanya al-Ashl yakni
nash suci yang memberikan hukum dan dipakai sebagai ukuran, 2) al-far yakni
sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash,3) hukum al-ashl yakni ketetapn
hukum yang diberikan oleh ashl, 4) illah yakni keadaan tertentu yang dipakai
sebagai dasar ketetapan hukum Ashl .
Contoh qiyas adalah soal hukum
meminum arak dari qurmah. Arak dari perasan kurma disebut far (cabang ) karena
tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash dan ia akan di qiyaskan dalam khomr.
Khamr adalah ashl atau pokok sebab terdapat dalam teks (nash) Dan hukumnya
haram, alasanya (illah) Karena memabukkan. Hasilnya, arak adalah haram karena
ada persamaan antara arak dan khamr , yakni sama sama memabukkan.
Menurut jabiri, metode qiyas sebagai
cara mendapatkan pengetahuan dalam epistemologi bayani digunakan dalam 3 aspek
yaitu : 1) qiyas jali , dimana far mempunyai persaolan hokum yang kuat di
banding ashl , 2) qiyas fi makna an nash dimana ashl dan far mempunyai derajat
hokum yang sama, qiyas al-kahfi dimana illat ashl tidak diketahui secara jelas
dan hanya menurut perkiraan mujtahid. Menurut Abd al jabar, seorang pemikir
teologi muktazilah, metode qiyas bayani diatas tidak hanya untuk menggali
pengetahuan dari teks tetapi juga bisa dikembangkan dan digunakan untuk
mengungkapkan persoalan non fisik ( ghoib).
D. Epistemologi Irfani
1. Pengertian Irfani
Irfan dari kata dasar bahasa Arab
‘arafah semakna dengan makrifat berarti pengetahuan. Tapi ia berbeda dengan
ilmu. Irfan atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara
langsung lewat pengalaman sedangkan ilmu menunjuk pada pengetahuan yang
diperoleh lewat transformasi (naql) atau rasianalitas (aql). Karena itu, secara
terminologis, irfan bisa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang
diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hambaNya setelah adanya
olah ruhani yang dilakukan atas dasar cinta.
2. Perkembangan Irfani
2. Perkembangan Irfani
Perkembangan irfani secara umum
dibagi dalam 5 fase. Pertama, fase pembibitan, Terjadi pada abad pertama
hijriyah. Apa yang disebut baru ada dalam bentuk prilaku zuhud. Kedua, Fase
kelahiran terjadi pada abad kedua hijriyah. Jika awalnya zuhud dilakukan atas
dasar takut dan mengharap pahala, dalam periode ini, ditangan Robiah al
adawiyah ( 801 M ) zuhud dilakukan atasa dasar cinta pada Tuhan, bebas dari
rasa takut atau harapan mendapat pahala. Ketiga, Fase pertumbuhan terjadi abad
3 – 4 H, Para tokoh sufisme mulai menaruh perhatian terhadap hal hal yang
berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku, sehingga sufisme menjadi ilmu moral
keagamaan (akhlak). Keempat, fase puncak terjadi pada abad ke- 5 H. Pada
periode ini Irfan mencapai masa gemilang. Irfan menjadi jalan yang jelas
karakternya untuk mencapai pengenalan serta kefanaan dalam tauhid dan
kebahagiaan. Kelima, fase spesikasi terjadi abad ke-6 dan 7 H berkat pengaruh
al ghozali yang besar, Irfan menjadi semakin dikenal dan berkembang dalam
masyarakat islami . Pada fase ini, secara epistemologi irfan telah terpecah
dalam 2 aliran yaitu irfan sunni dan irfan teoristis. Keenam, fase kemunduran
terjadi abad ke -8 sejak abad itu, irfan tidak mengalami perkembangan bahkan
mengalami kemunduran.
3. Metode Irfani
Pengetahuan irfan tidak didasarkan
atas teks seperti bayani, tetapi pada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia
realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan
analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan
Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran,
dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian
pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan, (1) persiapan,
(2) penerimaan, (3) pengungkapan, dengan lisan atau tulisan.[12]
Tahap pertama, persiapan. Untuk bisa
menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-jenjang
kehidupan spiritual. Setidaknya, ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai
dari bawah menuju puncak (1) Taubat, (2) Wa r a `, menjauhkan diri dari segala
sesuatu yang subhât, (3) Zuhud, tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia.
(4) Faqir, mengosongkan seluruh fikiran dan harapan masa depan, dan tidak
menghendaki apapun kecuali Tuhan swt, (5) Sabar, menerima segala bencana dengan
laku sopan dan rela. (6)Tawakkal, percaya atas segala apa yang ditentukan-Nya.
(7) Ridla, hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa
hanya gembira dan sukacita.
Kedua, tahap penerimaan. Jika telah
mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan
pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif. Pada tahap ini seseorang
akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga
dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyâhadah)
sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas yang disadari
tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang
sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui
itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihâd) yang dalam kajian Mehdi Yazdi
disebut ‘ilmu huduri’ atau pengetahuan swaobjek (self-object-knowledge).
Ketiga, pengungkapan, yakni
pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat
ucapan atau tulisan. Namun, karena pengetahuan irfani bukan masuk tatanan
konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran
Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan, sehingga tidak bisa
dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan.
Persoalannya, bagaimana makna atau
dimensi batin yang diperoleh darikasyf tersebut diungkapkan? Pertama,
diungkapkan dengan cara i`tibâr atau qiyas irfani. Yakni analogi makna batin
yang ditangkap dalamkasyf kepada makna zahir yang ada dalam teks. Kedua,
diungkapkan lewatsyathahât, suatu ungkapan lisan tentang perasaan (al-wijdân)
karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan
pengakuan, seperti ungkapan ‘Maha Besar Aku’ dari Abu Yazid Bustami (w. 877 M),
atau Ana al-Haqq dari al-Hallaj (w. 913 M). Karena itu, syathahat menjadi tidak
beraturan dan diluar kesadaran
E. Epistemologi Burhani
1. Pengertian Burhani
Dalam bahasa Arab al-burhan berarti
argumen yang jelas. Bahasa latinnya berarti demonstration yang berarti
al-isyarah (isyarat/tanda), al-washf (sifat), al-bayan (penjelasan), al-idzhar
(menampakkam). Secara umum ia berarti pembuktian untuk membenarkan sesuatu.
Sebagai aktifitas kognitif, demonstrasi adalah
inferensi rasional yaitu penggalian premis-premis yang menghasilkan konklusi
yang bernilai.[23] Sebagai lapangan kognitif, demonstrasi ini adalah dunia
pengetahuan filsafat dan sains yang diderivasikan dari gerakan tranlasi
buku-buku asing, khususnya karya Aristoteles ke dalam peradaban Arab. Karena
penerjemahan buku-buku itu dilatari oleh kehendak politik untuk mendukung akal
retoris melawan serbuan tren akal gnostis, maka tidak heran kalau dalam
praktiknya latar belakang ini mempunyai pengaruh yang dominan. Dan terjadilah
hubungan yang sangat erat antara keduanya dalam tataran pemikiran teologi /
filsafat.
Dari sini, kita bisa menganalisis
proses akulturasi tren ini ke dalam peradaban Arab menurut perspektif
epistemologisnya, menurut dua poros berikut. Pertama, dalam kaitannya dengan
metodologi yaitu dengan menggunakan pendekatan pasangan epistemologisnya
(al-lafdz/al-ma’na) yang sejajar dengan pasangan pertama dalam tren akal
retoris dan kedua berkaitan secara khusus dengan pola pandang, yaitu dengan
menggunakan pasangan epistemologis al-ashl/al-far’ dan pasangan
al-jauhar/al-‘ardh dalam tren akal retoris.
2. Perkembangan Burhani
Prinsip burhani pertama kali
dibangun oleh Aristoteles yang dikenal dengan istilah metode analitik (tahlili)
yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan atas proposisi tertentu. Pada masa
Alexander Aprodisi murid serta komentator Aristoteles, digunakan istilah logika
dan ketika masuk pada khasanah pemikiran Islam berganti nama menjadi Burhani.
Cara berfikir analitik Aristoteles ini masuk kedalam pemikiran Islam pertama
kali lewat progam penterjemahan buku-buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa
kekuasaan Al makmun. Sarjana pertama yang mengenalkan dan menggunakan metode
Burhani adalah al Khindi. Namun , karena masih dominannya kaum bayani dan
minimnya referensi maka metode burhani tidak begitu bergema. Metode Burhani ini
semakin berkembang dalam system pemikiran Islam Arab setelah masa al-Rozi.
Metode Burhani akhirnya benar benar mendapat tempat dalam system pemikiran
islam setelah masa al farabi.
3. Metode Burhani
Selanjutnya, untuk mendapatkan
sebuah pengetahuan, burhani menggunakan aturan silogisme. Mengikuti
Aristoteles, penarikan kesimpulan dengan silogisme ini harus memenuhi beberapa
syarat, (1) mengetahui latar belakang dari penyusunan premis, (2) adanya
konsistensi logis antara alasan dan keismpulan, (3) kesimpulan yang diambil harus
bersifat pasti dan benar, sehingga tidak mungkin menimbulkan kebenaran atau
kepastian lain.
Al-Farabi mempersyaratkan bahwa
premis-premis burhani harus merupakan premis-premis yang benar, primer dan
diperlukan. Premis yang benar adalah premis yang memberi keyakinan,
menyakinkan. Suatu premis bisa dianggap menyakinkan bila memenuhi tiga syarat;
(1) kepercayaan bahwa sesuatu (premis) itu berada atau tidak dalam kondisi
spesifik, (2) kepercayaan bahwa sesuatu itu tidak mungkin merupakan sesuatu
yang lain selain darinya, (3) kepercayaan bahwa kepercayaan kedua tidak mungkin
sebaliknya. Selain itu, burhani bisa juga menggunakan sebagian dari jenis-jenis
pengetahuan indera, dengan syarat bahwa objek- objek pengetahuan indera
tersebut harus senantiasa sama (konstan) saat diamati, dimanapun dan kapanpun,
dan tidak ada yang menyimpulkan sebaliknya.
Derajat dibawah silogisme burhani
adalah ‘silogisme dialektika’, yang banyak dipakai dalam penyusunan konsep
teologis. Silogisme dialektik adalah bentuk silogisme yang tersusun atas
premis-premis yang hanya bertarap mendekati keyakinan, tidak sampai derajat
menyakinkan seperti dalam silogisme demonstratif. Materi premis silogisme
dialektik berupa opini-opini yang secara umum diterima (masyhûrât), tanpa diuji
secara rasional. Karena itu, nilai pengetahuan dari silogisme dialektika tidak
bisa menyamai pengetahuan yang dihasilkan dari metode silogisme demonstratif.
Ia berada dibawah pengetahuan demontratif.
F. Perbandingan Epistimologi
Bayani, Irfani,dan Burhani
Bayani
menghasilkan pengetahuan lewat analogi realitas non-fisik atas realitas fisik
(qiyãs al-ghãib alã al-syãhid) atau furû kepada asal; irfani menghasilkan
pengetahuan lewat proses penyatuan rohani pada Tuhan dengan penyatuan universal
(kulliyat); burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika
atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya.
Nalar bayani telah membesarkan disiplin fiqh
(hukum) dan teologi, irfani telah menghasilkan teori-teori besar dalam sufisme
di samping kelebihannya untuk memahami orang lain, dan burhani telah
menyampaikan filsafat dalam puncak pencapaiannya. [13]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Bayani adalah metode pemikiran khas
Arab yang didasarkan atas otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung
Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung
mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran, secara tidak langsung berarti memahami
teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski
demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio.
Bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi
tetap harus bersandar pada teks.Pengetahuan irfan tidak didasarkan atas teks
seperti bayani, tetapi padakasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh
Tuhan. Pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi
dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan
melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep
kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Pengetahuan
irfani diperoleh melalui tiga tahapan, (1) persiapan, (2) penerimaan, (3)
pengungkapan, dengan lisan atau tulisan. Burhani sama
sekali tidak mendasarkan diri pada teks. Burhani menyandarkan diri pada
kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika.
Bayani menghasilkan pengetahuan
lewat analogi furû` kepada yang asal; irfani menghasilkan pengetahuan lewat
proses penyatuan ruhani pada Tuhan, burhani menghasilkan pengetahuan melalui
prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini
kebenarannya. Dengan demikian, sumber pengetahuan burhani adalah rasio, bukan
teks atau intuisi. Rasio inilah yang memberikan penilaian dan keputusan
terhadap informasi yang masuk lewat indera.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002
Abied Shah, Muhammad Aunul dan Sulaiman Mappiase, “Kritik Akal Arab:
Pendekatan Epistemologis terhadap Trilogi Kritik Al-Jabiri”,
Al-Jabiri, Muhammad ‘Abid, Kritik Pemikiran Islam Wacana Baru Filsafat
Islam, alih bahasa, Burhan, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003
Al-Jabiri, Muhammad Abed, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, Beirut: al-Markaz
al-Tsaqafi al-Arabi, 1991
Al Jabiri, Muhammad Abed, Post Tradisionalisme Islam, Terj, Ahmad Baso,
Yogyakarta: LKiS, 2000
Al-Jabiri, Muhammad ‘Abid, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, (Beirut:
al-Markaz al-Tsaqafi
Jurnal Iain
Sunan Ampel, Edisi XVII 1999(Surabaya, Pusat Penelitian Iain Sunan Ampel)
http://al-falahbungas.blogspot.com/2009/05/epistemologi-bayani-irfani-dan-burhani.html
[1][1]
M. Amin Abdullah, Studi Agama
Normativitas atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 243
[2] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 4-6.
[3] . P. Hardono Hadi, Epistemologi
(Filsafat Pengetahuan), (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 6-7
[4] Nirwan Syafrin, “Kritik terhadap
‘Kritik Akal Islam’ al-Jabiri”, Islamia, THN I No. 2/Juni-Agustus 2004, 43.
[5] M. Amin Abdullah, Studi Agama
Normativitas atau Historisitas?, 261.
[6]
Ibid, 262
[7] Muhammad ‘Abid Al-Jabiri, Kritik
Pemikiran Islam Wacana Baru Filsafat Islam, alih bahasa, Burhan, (Yogyakarta:
Fajar Pustaka Baru, 2003), dalam pengantar, hlm. vi-viii.
[8] Muhammad Abed Al Jabiri, Post
Tradisionalisme Islam, Terj, Ahmad Baso, (Yogyakarta: LKiS, 2000), kata
pengantar, hlm. xxviii.
[10] Muhammad Abid al-Jabiri, Post Tradisionalism Islam,
Terj. Ahmad Baso, (Yogyakarta: LKiS, 2000), hlm. 60
[11] A. Khudori Soleh, M. Abid Al-Jabiri Model Epistemologi
Islam, dalam, A. Khudori Soleh, (edt), Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta:
Jendela, 2003), hlm. 182
[12] A. Khudori shaleh, Wacana Baru …, hlm. 204
Posting Komentar