FILSAFAT ANALITIKA BAHASA

FILSAFAT ANALITIKA BAHASA Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah FALSAFAH LUGHOWIYAH Oleh ‎1.‎ Dewi Shobichatur Rohmah ‎ ( DO2212005)‎ ‎2.‎ Rahayu Ningsih ‎( D02212027 )‎ Dosen Pengampu:‎ Dr. H. M. Yunus Abu Bakar, M.Ag‎ PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA ‎2013‎ BAB I PENDAHULUAN A.‎ Latar Belakang Memasuki suatu medan yang luas tiada bertepi, tiada rambu-rambu ‎petunjuk jelas yang dapat menuntun ke jalan keluar yang paling tepat, ‎sehingga semuanya menjadi serba misteri dan penuh problema itulah ‎gambaran belajar filsafat, sepertinya perkembangan terakhir dari filsafat ilmu ‎tersebut adalah sampainya filosof pada penelitian tentang bahasa sebagai ‎refleksi dari filsafatnya.‎ Konsep tentang hidup dan dunia menjadi awal kemunculan ‎filsafat.‎ Para filosof dunia kebanyakan beranggapan bahwa yang satu haruslah ‎sebagai substansi material. Bermula dari anggapan tentang asal segala sesuatu, ‎Thales (585 SM) yang diberi julukan sebagai “Bapak Filsafat” beranggapan ‎bahwa segala sesuatu berasal dari air. Anaximinisme beranggapan bahwa ‎substansi itu adalah udara, sedang Heraklitos menganggapnya api, yang akan ‎melahirkan intelegensia, dan jika ditinjau dari segi spritualnya api tidak lain ‎adalah logos. Pytagoras (535-515 SM) dengan argumentasi deduktif ‎matematikanya yang bercorak mistis percaya bahwa bilanganlah yang ‎berperan sebagai pemersatu aneka ragam dalam suasana kosmos. Parmedines ‎‎(450 SM), doktrinnya telah berpengaruh terhadap Plato. Sampai pada lahirnya ‎teori atomis oleh Leucippus dan Demokraritus. Sampai pada Socrates, Plato, ‎dan Aristoteles. Pada abad ke XVIII dan awal abad ke XX terdapat dua ‎aliran besar yang mendominasi pemikiran filsafat yaitu filsafat idealisme dan ‎filsafat empirisme. Idealisme berkembang pesat dalam tradisi filsafat Jerman ‎sedangkan empirisme berkembang di Inggris. Aliran filsafat tersebut ‎berkembang terus menerus sampai pada abad ke XX ditandai dengan ‎kemunculan filsafat bahasa yang dipelopori oleh filosof-filosof kontemporer ‎yang menggunakan analisis bahasa melalui gejala-gejala yang nampak.‎ Melihat realita seperti itu bahasa adalah alat yang paling penting dari ‎seorang filosof serta perantara untuk menemukan ekspresi. Oleh karena itu ia ‎sensitif terhadap kekaburan serta cacat-cacatnya dan merasa simpati untuk ‎menjelaskan dan memperbaikinya. Kebanyakan orang menganggap bahasa itu ‎satu hal yang wajar, seperti udara yang kita isap, tetapi pada waktu sekarang, ‎banyak ahli termasuk di dalamnya filosof-filosof yang memakai “metode ‎logical analitik” melihat bahwa penyelidikan tentang arti serta prinsip-prinsip ‎dan aturan-aturan bahasa merupakan problema yang pokok dalam filsafat.‎ Hubungan antara bahasa dengan masalah filsafat telah lama menjadi ‎perhatian para filosof bahkan sejak zaman Yunani. Para filosof mengetahui ‎bahwa berbagai macam problema filsafat dapat dijelaskan melalui suatu ‎analisis bahasa. Sebagai contoh: problema filsafat yang menyangkut ‎pertanyaan, keadilan, kebaikan, kebenaran, kewajiban, hakekat ada ‎‎(Metafisika) dan pertanyaan-pertanyaan fundamental lainnya dapat dijelaskan ‎dengan menggunakan metode analisis bahasa. Tradisi inilah oleh para ahli ‎sejarah filsafat disebut sebagai “Filsafat Analitik” yang berkembang di Eropa ‎terutama di Inggris abad XX.‎ Oleh karena itu di dalam filsafat bahasa ini kita membahas tentang ‎Filsafat Analitik.‎ B.‎ Rumusan Masalah ‎1. Pengertian filsafat bahasa analitik dan perkembangannya?‎ ‎2. Siapa tokoh-tokoh filsafat analitik?‎ ‎3. Apa saja aliran-aliran analitik bahasa?‎ C.‎ Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memaparkan kepada ‎pembaca tentang filsafat analitika bahasa dengan demikian para pembaca akan ‎mampu mengaplikasikan nilai-nilai yang termuat dalam kebahasaan yang telah ‎kami paparkan. Selain itu makalah ini juga bertujuan untuk memenuhi tugas ‎mata kuliah Filsafat Bahasa. ‎ BAB II FILSAFAT ANALITIKA BAHASA A.‎ Pengertian Filsafat Bahasa (Analitik) dan Perkembangannya Para filosof sadar bahwa dalam kenyataannya banyak persoalan-‎persoalan filsafat, konsep-konsep filosofis akan menjadi jelas dengan ‎menggunakan analisis bahasa. Tokoh-tokoh filsafat analitika bahasa hadir ‎dengan terapi analitika bahasanya untuk mengatasi kelemahan, kekaburan, ‎kekacauan yang selama ini ada dalam berbagai macam konsep filosofis.‎ Secara etimologi kata analitik berarti investigative, logis, mendalam, ‎sistematis, tajam dan tersusun.‎ Menurut Rudolph Carnap, filsafat analitik ‎adalah pengungkapan secara sistematik tentang syntax logis (struktur ‎gramatikal dan aturan-aturannya) dari konsep-konsep dan bahasa khususnya ‎bahasa ilmu yang semata-mata formal.‎ Berbeda dengan Rudolph Carnap, Roger Jones menjelaskan arti filsafat ‎analitik bahwa baginya tindak menganalisis berarti tindak memecah sesuatu ke ‎dalam bagian-bagiannya. Tepat bahwa itulah yang dilakukan oleh para filosof ‎analitik Dijelaskan pula di dalam kamus populer filsafat bahwa filsafat analitik ‎adalah aliran dalam filsafat yang berpangkal pada lingkaran Wina. Filsafat ‎analitik menolak setiap bentuk filsafat yang berbau metafisik. Juga ingin ‎menyerupai ilmu-ilmu alam yang empirik, sehingga kriteria yang berlaku dalam ‎ilmu eksakta juga harus dapat diterapkan pada filsafat (misalnya harus dapat ‎dibuktikan dengan nyata, istilah-istilah yang dipakai harus berarti tunggal, jadi ‎menolak kemungkinan adanya analogi).‎ Filsafat analitik adalah suatu gerakan filosof Abad ke 20, khususnya di ‎Inggris dan Amerika Serikat yang memusatkan perhatiannya pada bahasa dan ‎mencoba menganalisa pernyataan-pernyataan (konsep-konsep, ungkapan-‎ungkapan kebahasaan, atau bentuk-bentuk yang logis) supaya menemukan ‎bentuk-bentuk yang paling logis dan singkat yang cocok dengan fakta-fakta ‎atau makna-makna yang disajikan. Yang pokok bagi filsafat analitik adalah ‎pembentukan definisi baik yang linguistik atau nonlinguistik nyata atau yang ‎konstektual.‎ Filsafat analitik sendiri, secara umum, hendak mengklarifikasi makna ‎dari penyataan dan konsep dengan menggunakan analisis bahasa.Bilamana ‎dikaji perkembangan filsafat setidaknya terdapat empat fase perkembangan ‎pemikiran filsafat, sejak munculnya pemikiran yang pertama sampai dewasa ‎ini, yang menghiasi panggung sejarah umat manusia.‎ ‎1.‎ Kosmosentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan alam sebagai ‎objek pemikiran dan wacana filsafat, yaitu yang terjadi pada zaman kuno.‎ ‎2.‎ Teosentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan Tuhan sebagai ‎pusat pembahasan filsafat, yang berkembang pada zaman abad pertengahan. ‎ ‎3.‎ Antroposentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan manusia ‎sebagai objek wacana filsafat, hal ini terjadi dan berkembang pada zaman ‎modern. ‎ ‎4.‎ Logosentris yaitu fase perkembangan pemikiran filsafat yang meletakkan ‎bahasa sebagai pusat perhatian pemikiran filsafat dan hal ini berkembang ‎setelah abad modern sampai sekarang. Fase perkembangan terakhir ini ‎ditandai dengan aksentuasi filosof pada bahasa yang disadarinya bahwa ‎bahasa merupakan wahana pengungkapan peradaban manusia yang sangat ‎kompleks itu.‎ Mengenai filsafat analitika bahasa,pada dasarnya perkembangan ‎filsafat ini meliputi tiga aliran pokok yaitu atomisme logis, positivisme logis, ‎dan filsafat bahasa biasa..‎ Perhatian filsafat terhadap bahasa sebenarnya telah berlangsung lama, ‎bahkan sejak zaman Prasokrates, yaitu ketika Herakleitos membahas tentang ‎hakikat segala sesuatu termasuk alam semesta. Bahkan Aristoteles ‎menyebutnya sebagai “para fisiologis kuno” atau ‘hoi arkhaioi physiologoi’. ‎Seluruh minat herakleitos terpusatkan pada dunia fenomenal. Ia tidak setuju ‎bahwa di atas dunia fenomenal ini, terdapat ‘dunia menjadi’ namun ada dunia ‎yang lebih tinggi, dunia idea, dunia kekal yang berisi ‘ada’ yang murni. ‎Meskipun begitu ia tidak puas hanya dengan fakta perubahan saja, ia mencari ‎prinsip perubahan. Menurut Herakleitos, prinsip perubahan ini tidak dapat ‎ditemukan dalam benda material. Petunjuk ke arah tafsiran yang tepat ‎terhadap tata kosmis bukanlah dunia material melainkan dunia manusiawi, dan ‎dalam dunia manusiawi ini kemampuan bicara menduduki tempat yang sentral. ‎Dalam pengertian inilah maka medium Herakleitos bahwa “kata” (logos) bukan ‎semata-mata gejala antropologi. Kata tidak hanya mengandung kebenaran ‎universal. Bahkan Herakleitos mengatakan “jangan dengar aku”, “dengarlah ‎pada sang kata dan akuilah bahwa semua benda itu satu”. Demikian sehingga ‎pemikiran Yunani awal bergeser dari filsafat alam kepada filsafat bahasa yang ‎diletakkan sebagai objek kajian filsafat..‎ Filsafat bahasa mulai berkembang pada abad ke XX dengan telaah ‎analitik filosofi Wittgenstein tentang bahasa. Noam Chomskylah yang ‎pertama-tama mengangkat bahasa sebagai disiplin linguistik. Grice dan ‎Quinelah yang mengangkat meaning sebagai intensionalitas si pembicara dan ‎meaning dalam konteks kejadiannya. Davidson lebih lanjut mengetengahkan ‎tentang struktur semantik, untuk memahami bahasa, termasuk unsur-unsurnya ‎dan mengembangkan tentang interpretasi yang dapat berbeda antara si ‎pembicara dan yang dibicarakan. Frege lebih lanjut mengembangkan konsep ‎tentang referensi. Ekspresi bahasa bukan hanya representasi of mine, tetapi ‎juga mengandung referensi, yaitu hal-hal yang relevan dengan pernyataan yang ‎ditampilkan.‎ Filsafat abad modern memberikan dasar-dasar yang kokoh terhadap ‎timbulnya filsafat analitika bahasa. Peranan rasio, indra, dan intuisi manusia ‎sangat menentukan dalam pengenalan pengetahuan manusia. Oleh karena itu ‎aliran rasionalisme yang menekankan otoritas akal, aliran empirisme yang ‎menekankan peranan pengalaman indra dalam pengenalan pengetahuan ‎manusia serta aliran imaterialisme dan kritisme Immanuel Kant menjadi sangat ‎penting sekali pengaruhnya terhadap tumbuhnya filsafat analitika bahasa ‎terutama dalam pengungkapan realitas segala sesuatu melalui ungkapan ‎bahasa.‎ B.‎ Filsafat Sebagai Analisis Bahasa Bahasa adalah alat yang paling utama bagi seorang filsuf serta ‎merupakan media untuk analisis dan refleksi. Oleh karena itu bahasa sangat ‎sensitif terhadap kekaburan serta kelemahan-kelemahan lainnya, sehingga ‎banyak filsuf menaruh perhatian untuk menyempurnakannya. Hal ini terutama ‎dengan timbulnya aliran filsafat analitika bahasa yang memandang bahwa ‎problema-problema filosofis akan menjadi terjelaskan menekala menggunakan ‎analisis terminologi gramatika, bahkan kalangan filsuf analitika bahasa ‎menyadari banyak ungkapan-ungkapan filsafat yang sama sekali tidak ‎menjelaskan apa-apa. Berdasarkan hal tersebut maka banyak kalangan filsuf ‎terutama para tokoh filsafat analitika bahasa menyatakan bahwa tugas utama ‎filsafat adalah analisis konsep-konsep. Sebagaimana kita ketahui misalnya ‎banyak filsuf yang mengetengahkan konsepnya melalui analitika bahasa, ‎misalnya ‘apakah keadilan itu’, ‘apakah yang dimaksud dengan kebenaran’, ‎‎‘apakah yang dimaksud dengan kebaikan’ dan lain sebagainya. Kegiatan yang ‎semacam itu merupakan suatu permulaan dari suatu usaha pokok filsafat untuk ‎mendapatkan kebenaran hakiki tentang segala sesuatu termasuk manusia ‎sendiri.‎ Namun demikian kegiatan para filsuf semacam itu dewasa ini dianggap ‎tidak mencukupi karena tidak didukung dengan pengamatan dan pembuktian ‎yang memadai untuk mendapatkan kesimpulan yang adekuat. Oleh karena itu ‎untuk menjawab pertanyaan yang fundamental tentang hakikat segala sesuatu ‎para filsuf berupaya untuk memberikan suatu argumentasi yang didukung ‎dengan analisis bahasa yang memenuhi syarat-syarat logis. Untuk itu terdapat ‎tiga cara untuk memformulasikan problema filsafat secara analitis misalnya ‎masalah sebab-akibat, kebenaran, pengetahuan ataupun kewajiban moral, ‎misalnya tentang hakikat pengetahuan sebagai berikut:‎ ‎(1) Kita menyelidiki pengetahuan itu.‎ ‎(2) Kita menganalisis konsep pengetahuan itu.‎ ‎(3) Kita ingin membuat eksplisit kebenaran pengetahuan itu. ‎ Untuk pemecahan yang pertama mustahil dapat dilaksanakan karena ‎seakan-akan filsafat itu mencari dan meneliti suatu entitas (keberadaan) ‎sesuatu yang disebut pengetahuan berada bebas dari pikiran manusia. Untuk ‎yang kedua itu juga menyesatkan karena seakan-akan tugas filsafat untuk ‎memeriksa, meneliti dan mengamati sesuatu yang disebut pengetahuan. ‎Kemudian menentukan bagian-bagiannya, menentukan hubungan-‎hubungannya hingga menjadi suatu konsep yang disebut pengetahuan. ‎ Kiranya hanya kemungkinan alternatif yang ketiga saja yang layak ‎dilakukan oleh filsafat, yaitu bahwa tugas utama filsafat adalah analisis ‎konsep-konsep tersebut senantiasa melalui bahasa.‎ ‎ Memang filsafat sebagai ‎analisis konsep-konsep tersebut senantiasa berkaitan dengan bahasa yang ‎berkaitan dengan makna (semantik) dan tidak turut campur dalam bahasa itu ‎sendiri sebagai suatu realitas. ‎ Problem yang muncul berkaitan dengan filsafat sebagai analisis konsep-‎konsep yaitu kekurangan dan keterbatasan bahasa sebagaimana dihadapi oleh ‎disiplin ilmu-ilmu lainnya. Konsep-konsep filsafat senantiasa diartikulasikan ‎secara verbal sehingga dengan demikian maka bahasa memiliki peranan yang ‎netral. Dalam pengertian inilah menurut Alston bahwa bahasa merupakan ‎laboraturium filsafat untuk menguji dan menjelaskan konsep-konsep dan ‎problema-problema filosofis bahkan untuk menentukan kebenaran pikirannya.‎ Kedudukan filsafat sebagai analisis konsep-konsep dan mengingat ‎peranan bahasa yang bersifat sentral dalam mengungkapkan secara verbal ‎pandangan-pandangan dan pemikiran filosofis maka timbullah suatu masalah ‎yaitu keterbatasan bahasa sehari-hari yang dalam masalah tertentu tidak ‎mampu mengungkapkan konsep filosofis. Menanggapi peranan bahasa sehari-‎hari dalam kegiatan filsafat maka terdapat dua kelompok filsuf yang memiliki ‎pandangan yang berbeda. ‎ ‎(1) Terdapat kelompok filsuf yang beranggapan bahwa sebenarnya bahasa biasa ‎‎(ordinary language) yaitu bahasa yang sehari-hari digunakan dalam ‎komunikasi manusia itu telah cukup untuk maksud-maksud filsafat atau ‎dengan lain perkataan bahasa sehari-hari itu memadai sebagai sarana ‎pengungkapan konsep-konsep filsafat. Namun demikian harus diakui ‎bahwa untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan ‎bahasa sehari-hari bahasa filsafat harus diberikan suatu pengertian yang ‎khusus atau harus memberikan suatu penjelasan terhadap penyimpangan ‎tersebut. Menurut pandangan ini (terutama aliran filsafat bahasa biasanya ‎Wittgenstein II) masalah-masalah filsafat itu timbul justru karena adanya ‎penyimpangan-penyimpangan penggunaan bahasa biasanya oleh para filsuf ‎dalam berfilsafat, sehingga timbullah kekacauan dalam filsafat dan ‎penyimpangan itu tanpa suatu penjelasan agar dapat dimengerti ‎‎(Poerwowidagdo, tanpa tahun: 10). Misalnya kita sering mendengarkan ‎suatu ungkapan filosofis yang menyatakan bahwa suatu ungkapan itu ‎secara metafisis memiliki makna yang dlam tanpa memberikan alasan yang ‎memadai agar memiliki suatu dasar kebenaran yang dapat ‎dipertanggungjawabkan. Maka menurut pandangan yang pertama ini tugas ‎filsuf dalam memberikan semacam terapi untuk penyembuhan dalam ‎kelemahan penggunaan bahasa filsafat tersebut.‎ ‎(2) Sebaliknya terdapat kelompok filsuf yang menganggap bahwa bahasa ‎sehari-hari itu tidak cukup untuk mengungkapkan masalah-masalah dan ‎konsep-konsep filsafat. Masalah-masalah filsafat itu justru timbul karena ‎bahasa biasa itu tidak cukup untuk tujuan analisis filosofis Karena bahasa ‎sehari-hari memiliki banyak kelemahan dan demi kejelasan kebenaran ‎konsep-konsep filosofis maka perlu dilakukan suatu pembaharuan bahasa, ‎yaitu perlu diwujudkan suatu bahasa yang sarat dengan logika sehingga ‎ungkapan-ungkapan bahasa dalam filsafat kebenarannya dapat ‎dipertanggungjawabkan. Kelompok filsuf ini antara lain Leibniz, Ryle, ‎Rudolf Carnap, Bertrand Russell dan tokoh lainnya. Menurut kelompok ‎filsuf ini tugas filsafat yaitu membangun dan mengembangkan bahasa yang ‎dapat mengatasi kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam bahasa sehari-‎hari itu. Dengan suatu kerangka bahasa yang sedemikian itu kita dapat ‎memahami dan mengerti tentang hakikat fakta-fakta atau kenyataan-‎kenyataan dunia. Maka yang menjadi perhatian kita yang terpenting adalah ‎usaha bahwa perhatian filsafat itu memang berkenaan dengan konsepsi ‎umum tentang bahasa serta makna yang terkandung di dalamnya. ‎Demikianlah kiranya perhatian filsafat terhadap bahasa dan hal ini ‎mengingat tugas utama filsafat adalah analisi konsep-konsep dan oleh ‎karena ungkapan filosofis itu bersifat verbal maka upaya untuk membuat ‎bahasa itu memadai dalam berfilsafat jadi sangat penting sekali.‎ C.‎ Atomisme Logis Betran Russel Atomisme logis merupakan salah satu teori yang ada dalam aliran ‎filsafat analitik bahasa. Istilah ini dinisbatkan kepada dua filosof Anglo-‎Saxon, yaitu Bertran Russell dan Ludwig Wittgenstein (1899-1951). ‎Bertran Russel adalah seorang sarjana yang lahir dari lingkungan ‎Universitas Cambridge Inggris. Ia banyak menulis tentang berbagai ‎persoalan diantaranya tentang filsafat, politik, pendidikan, sejarah dan ‎agama. ‎ Konsep atomisme logis yang dikembangkan oleh Russell dan ‎wittgenstein sebenarnya terdapat perbadaan antara keduanya. Akan ‎tetapi jika dilihat dari sudut pandang pendekatannya antara keduanya ‎terdapat kesamaan yang sangat signifikan. Menurut Russell untuk ‎memahami atomisme logis kita harus memahami tujuan filsafat terlebih ‎dahulu yang terdiri dari tiga tujuan yaitu:‎ a.‎ Filsafat memiliki tujuan untuk mengembalikan seluruh ilmu pengetahuan ‎kepada bahasa yang paling padat dan sederhana. Menurutnya tugas filsafat ‎yaitu merumuskan pandangan yang mendasari semua ilmu khusus, yaitu ‎dengan jelas merumuskan suatu sintesis. ‎ b.‎ Menghubungkan logika dan matematika. Russel menghendaki dalam dunia ‎pendidikan antara jurusan ilmu pasti (eksak) dan jurusan sastra tidak ‎dipisahkan. Karena menurutnya logika dan tata bahasa tidak hanya penting ‎bagi bahasa, melainkan juga merupakan dasar bagi matematika.‎ c.‎ Analisis bahasa. Tujuan ketiga ini pada dasarnya merupakan titik puncak ‎dari tujuan filsafat Russell, yaitu untuk mencari pengetahuan yang benar.‎ Ketiga tujuan filsafat Russell tersebut sangat mempengaruhi ‎seluruh pemikiran filsafatnya, termasuk mempengaruhi konsep atomisme ‎logis. Juga merefleksi terhadap landasannya, yaitu bahasa logika dan ‎corak logika, teori isomorfi (teori kesepadanan) dan proposisi atomik. ‎Ketiga landasan filsafat ini merupakan arah prinsipil untuk memahami ‎filsafat atomisme logis.‎ Bahasa logika menurut Russell akan sangat membantu terhadap ‎aktivitas analisis bahasa. Sebab, ia berkeyakinan bahwa teknik analisis ‎bahasa yang didasarkan pada bahasa logika yang mampu melukiskan ‎hubungan antara struktur bahasa dan struktur realitas.‎ Selanjutnya, kata Russell tugas dari filsafat pada dasarnya ‎merupakan analisis logis yang diikuti sintesis logis tentang fakta-fakta. ‎Yang dimaksud dengan analisis logis tentang fakta adalah ialah ‎pemikiran yang didasarkan pada metode deduksi untuk mendapatkan ‎argumentasi apriori, yaitu kebenaran yang sudah diketahui kebenarannya ‎sebelum dilakukan suatu percobaan atau penelitian. Sedangkan sintesis ‎logis yaitu suatu proses menentukan makna pernyataan atas dasar ‎empirik yang dengan sendirinya akan melahirkan pengetahuan yang baru. ‎Dalam filsafat Kant pengetahuan ini disebut dengan pengetahuan ‎sintesis a-posteriori. ‎ Russell menerapkan teknik analisis bahasa untuk memecahkan ‎problema filsafat. Akan tetapi ia lebih mendahulukan analosis logis ‎daripada sintesis logis. Karena, teori yang hanya didasarkan pada fakta-‎fakta yang bersifat empiris tidak akan bisa menjangkau pengetahuan ‎yang universal. Sebab, kebenaran yang bersifat logis dan matematis yang ‎diungkapkan melalui analisis logis akan meyakinkan kita untuk mengakui ‎keberadaan sifat-sifat yang universa. Berdasarkan uraian tersebut, ‎tampak jelas bahwa Russell hendak menyusun atomisme logis dengan ‎berpijak pada bahasa logika. Dengan bahasa logika itulah ia melakukan ‎kerja analisis bahasa bagi bahasa filsafat untuk memperoleh apa yang ‎disebutnya sebagai atom-atom logis atau proposisi atomis.‎ Russell memandang proposisi sebagai suatu simbol-simbol yang ‎rumit yang bisa benar atau salah, dan dia juga menegaskan bahwa di ‎dunia realita ini yang menentukan proposisiitu benar atau salah adalah ‎fakta. Proposisi itu terdiri dari simbol-simbol atau sebutan-sebutan ‎‎(nama) yang simpel. Suatu sebutan mempunyai makna jika merujuk pada ‎objek. Namun demikian ini tidak berarti bahwa semua nama yang ‎terdapat dalam kehidupan sehari-hari adalah simbol-simbol dalam ‎pengertian ini. Hal ini karena struktur bahasa keseharian bisa jadi salah ‎dan ini merupakan salah satu tugas dari bahasanya. Russell meminta ‎teorinya tentang deskripsi merupakan pelaksanaan paradigmatis dari ‎tugas ini. Maksudnya bahwa frase yang bersifat deskriptif merupakan ‎simbol-simbol yang tidak sempurna yang kegunaannya tidak bergantung ‎pada suatu refrensi tertentu dan karena itu implikasi ontologis yang salah ‎dari bahasa sehari-hari tidak diperdebatkan. Dengan cara ini, Russell ‎mengangkat maxim (dalil) metodologi bahwa melalui analisis bahasayang ‎logis seseorang bisa mengungkapkan simbol-simbol yang benar-benar ‎sederhana dengan mana dunia dibangun.‎ D.‎ Atomisme Logis Wittgenstein ‎ Wittgenstein adalah seorang filosof asal Wina Austria yang ‎merupakan sahabat dan sekaligus murid Russell yang sangat cemerlang. ‎Akan tetapi dalam berbagai hal Russell mengakuinya sebagai murid dari ‎Wittgenstein. Dari sini kita dapat melihat bahwa hubungan antara ‎Russell dan Wittgenstein tidak hanya memiliki hubungan yang erat ‎dalam bidang intelektual saja, akan tetapi di luar itu juga.‎ Pada awalnya filsafat wittgenstein banyak hal yang mirip dengan ‎logika atomisme Russell. Tulisan-tulisan keduanya sama-sama berasumsi ‎bahwa analisis yang logis dari bahasa harus menjelaskan unsur pokok ‎atom dari dunia ini. Namun, wittsgenstein tidak mencurahkan ‎perhatiannya terhadap hakikat atom dan batas pengetahuan kita tentang ‎atom sebagai unsur pokok, melainkan lebih mencurahkan pada hakekat ‎dan batas-batas bahasa itu sendiri.‎ Ciri-ciri khas proposisi sebagai gambar realitas yang logis yakni ‎dapat melahirkan batasan yang sempit pada wilayah wacana yang ‎signifikan. Batasan itu ditandai oleh dua sikap ekstrim yang berhadap-‎hadapan, dan diantara dua ekstrim ini terdapat statemen-statemen yang ‎sejati, yang semuanya memfungsikan proposisi pokoknya untuk ‎kebenaran. Jika proposisi ini hanya menggambarkan gambar realitas ‎empirik, maka persoalan-persoalan kehidupan lainnya seperti etika, tata ‎nilai, tentang makna dan tujuan hidup menjadi terusir kaluar dari wilayah ‎wacana yang signifikan.‎ BAB III PENUTUP ‎3.1 Kesimpulan‎ Filsafat analitik adalah suatu gerakan filosof Abad ke 20, khususnya di ‎Inggris dan Amerika Serikat yang memusatkan perhatiannya pada bahasa dan ‎mencoba menganalisa pernyataan-pernyataan (konsep-konsep, ungkapan-‎ungkapan kebahasaan atau bentuk-bentuk yang logis) supaya menemukan ‎bentuk-bentuk yang paling logis dan singkat yang cocok dengan fakta-fakta ‎atau makna-makna yang disajikan.‎ Perhatian filsafat terhadap bahasa sebenarnya telah berlangsung lama, ‎bahkan sejak zaman Pra Sokrates, akan tetapi filsafat bahasa tersebut menjadi ‎populer pada abad ke XX dengan telaah analitik filosofik Wittgenstein ‎tentang bahasa.‎ Adapun tokoh-tokoh yang melahirkan filsafat analitik sebagai berikut: ‎Gottlob Frege, Beltrand Russel dan Ludwig Wittgeinsten.‎ Aliran-aliran analitik bahasa yang pertama adalah atomisme logis, yang ‎kedua positivisme logis dan yang ketiga filsafat bahasa biasa (the ordinary ‎language philosophy).‎ ‎3.2 Saran‎ Mengingat keterbatasan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki ‎oleh penulis, maka untuk mendapat pemahaman yang lebih mendasar lagi, ‎disarankan kepada pembaca untuk membaca literatur-literatur yang telah ‎dilampirkan pada daftar rujukan Dengan demikian pula diharapkan adanya saran dan kritik yang ‎bersifat membangun dari pembaca, agar makalah ini dapat memberikan ‎pengetahuan tentang filsafat analitika bahasa.‎ DAFTAR PUSTAKA Abidin, Zainal. 2004. Semantika; Pengantar Studi Tentang Makna. Cet. V; ‎Jakarta: Raja Grafindo persada ‎ Alston, P. William. 1964. Philosophy of Language. London: Prentice Hall ‎Inc.‎ Cassirer, Ernst. 1962. An Essay on Man. United States Of America: Yake ‎University Press.‎ Endarmoko, Eko. 2006. Tesaurus Bahasa Indonesia. Cet. I; Jakarta: PT ‎Gramedia.‎ Kaelan. 2006. Perkembangan Filsafat Analitika Bahasa dan ‎Pengaruhnya Terhadap Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: ‎Paradigma.‎ Kaelan. 2009. Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika. Yogyakarta: ‎Paradigama.‎ ‎ Hartoko, Dick 2002 Kamus Populer Filsafat . Cet. III; PT. Raja ‎Grafindo Persada.‎ Hidayat, Asaep Ahmad. 2009.Filsafat Bahasa Mengungkapkan Hakikat ‎Bahasa, Makna dan Tanda. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.‎ Mudhofir, Ali. 1996. Kamus Teori dan Aliran Dalam Filsafat dan ‎Teologi (Cet I; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.‎ Muhadj, Noeng. 2001. Filsafat Ilmu Positivisme, Post positivisme, dan ‎Post Modernisme. Yogyakarta: Rakesarasin.‎ ‎ Poerwowidagdo, Yudowibowo. Tanpa tahun. Filsafat Bahasa. Suatu ‎diktat materi kuliah.‎ Rasjidi, H. M. 1984. Persoalan-Persoalan Filsafat. Jakarta: PT Bulan ‎Bintang.‎ Russell, Bertrand. 1974. History of Western Philosophy. Oxford: Alden ‎Press.‎ Thomson, John B. 2003. Filsafat Bahasa dan Hermeunitik Untuk ‎Penelitian Sosial. Surabaya: Visi Humanika.‎
Share this post :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Kajian Universal - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger