
FILSAFAT ANALITIKA BAHASA
FILSAFAT ANALITIKA BAHASA
Makalah
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
FALSAFAH LUGHOWIYAH
Oleh
1. Dewi Shobichatur Rohmah ( DO2212005)
2. Rahayu Ningsih ( D02212027 )
Dosen Pengampu:
Dr. H. M. Yunus Abu Bakar, M.Ag
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Memasuki suatu medan yang luas tiada bertepi, tiada rambu-rambu petunjuk jelas yang dapat menuntun ke jalan keluar yang paling tepat, sehingga semuanya menjadi serba misteri dan penuh problema itulah gambaran belajar filsafat, sepertinya perkembangan terakhir dari filsafat ilmu tersebut adalah sampainya filosof pada penelitian tentang bahasa sebagai refleksi dari filsafatnya.
Konsep tentang hidup dan dunia menjadi awal kemunculan filsafat. Para filosof dunia kebanyakan beranggapan bahwa yang satu haruslah sebagai substansi material. Bermula dari anggapan tentang asal segala sesuatu, Thales (585 SM) yang diberi julukan sebagai “Bapak Filsafat” beranggapan bahwa segala sesuatu berasal dari air. Anaximinisme beranggapan bahwa substansi itu adalah udara, sedang Heraklitos menganggapnya api, yang akan melahirkan intelegensia, dan jika ditinjau dari segi spritualnya api tidak lain adalah logos. Pytagoras (535-515 SM) dengan argumentasi deduktif matematikanya yang bercorak mistis percaya bahwa bilanganlah yang berperan sebagai pemersatu aneka ragam dalam suasana kosmos. Parmedines (450 SM), doktrinnya telah berpengaruh terhadap Plato. Sampai pada lahirnya teori atomis oleh Leucippus dan Demokraritus. Sampai pada Socrates, Plato, dan Aristoteles. Pada abad ke XVIII dan awal abad ke XX terdapat dua aliran besar yang mendominasi pemikiran filsafat yaitu filsafat idealisme dan filsafat empirisme. Idealisme berkembang pesat dalam tradisi filsafat Jerman sedangkan empirisme berkembang di Inggris. Aliran filsafat tersebut berkembang terus menerus sampai pada abad ke XX ditandai dengan kemunculan filsafat bahasa yang dipelopori oleh filosof-filosof kontemporer yang menggunakan analisis bahasa melalui gejala-gejala yang nampak.
Melihat realita seperti itu bahasa adalah alat yang paling penting dari seorang filosof serta perantara untuk menemukan ekspresi. Oleh karena itu ia sensitif terhadap kekaburan serta cacat-cacatnya dan merasa simpati untuk menjelaskan dan memperbaikinya. Kebanyakan orang menganggap bahasa itu satu hal yang wajar, seperti udara yang kita isap, tetapi pada waktu sekarang, banyak ahli termasuk di dalamnya filosof-filosof yang memakai “metode logical analitik” melihat bahwa penyelidikan tentang arti serta prinsip-prinsip dan aturan-aturan bahasa merupakan problema yang pokok dalam filsafat.
Hubungan antara bahasa dengan masalah filsafat telah lama menjadi perhatian para filosof bahkan sejak zaman Yunani. Para filosof mengetahui bahwa berbagai macam problema filsafat dapat dijelaskan melalui suatu analisis bahasa. Sebagai contoh: problema filsafat yang menyangkut pertanyaan, keadilan, kebaikan, kebenaran, kewajiban, hakekat ada (Metafisika) dan pertanyaan-pertanyaan fundamental lainnya dapat dijelaskan dengan menggunakan metode analisis bahasa. Tradisi inilah oleh para ahli sejarah filsafat disebut sebagai “Filsafat Analitik” yang berkembang di Eropa terutama di Inggris abad XX.
Oleh karena itu di dalam filsafat bahasa ini kita membahas tentang Filsafat Analitik.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian filsafat bahasa analitik dan perkembangannya?
2. Siapa tokoh-tokoh filsafat analitik?
3. Apa saja aliran-aliran analitik bahasa?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memaparkan kepada pembaca tentang filsafat analitika bahasa dengan demikian para pembaca akan mampu mengaplikasikan nilai-nilai yang termuat dalam kebahasaan yang telah kami paparkan. Selain itu makalah ini juga bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Bahasa.
BAB II
FILSAFAT ANALITIKA BAHASA
A. Pengertian Filsafat Bahasa (Analitik) dan Perkembangannya
Para filosof sadar bahwa dalam kenyataannya banyak persoalan-persoalan filsafat, konsep-konsep filosofis akan menjadi jelas dengan menggunakan analisis bahasa. Tokoh-tokoh filsafat analitika bahasa hadir dengan terapi analitika bahasanya untuk mengatasi kelemahan, kekaburan, kekacauan yang selama ini ada dalam berbagai macam konsep filosofis.
Secara etimologi kata analitik berarti investigative, logis, mendalam, sistematis, tajam dan tersusun. Menurut Rudolph Carnap, filsafat analitik adalah pengungkapan secara sistematik tentang syntax logis (struktur gramatikal dan aturan-aturannya) dari konsep-konsep dan bahasa khususnya bahasa ilmu yang semata-mata formal.
Berbeda dengan Rudolph Carnap, Roger Jones menjelaskan arti filsafat analitik bahwa baginya tindak menganalisis berarti tindak memecah sesuatu ke dalam bagian-bagiannya. Tepat bahwa itulah yang dilakukan oleh para filosof analitik
Dijelaskan pula di dalam kamus populer filsafat bahwa filsafat analitik adalah aliran dalam filsafat yang berpangkal pada lingkaran Wina. Filsafat analitik menolak setiap bentuk filsafat yang berbau metafisik. Juga ingin menyerupai ilmu-ilmu alam yang empirik, sehingga kriteria yang berlaku dalam ilmu eksakta juga harus dapat diterapkan pada filsafat (misalnya harus dapat dibuktikan dengan nyata, istilah-istilah yang dipakai harus berarti tunggal, jadi menolak kemungkinan adanya analogi).
Filsafat analitik adalah suatu gerakan filosof Abad ke 20, khususnya di Inggris dan Amerika Serikat yang memusatkan perhatiannya pada bahasa dan mencoba menganalisa pernyataan-pernyataan (konsep-konsep, ungkapan-ungkapan kebahasaan, atau bentuk-bentuk yang logis) supaya menemukan bentuk-bentuk yang paling logis dan singkat yang cocok dengan fakta-fakta atau makna-makna yang disajikan. Yang pokok bagi filsafat analitik adalah pembentukan definisi baik yang linguistik atau nonlinguistik nyata atau yang konstektual.
Filsafat analitik sendiri, secara umum, hendak mengklarifikasi makna dari penyataan dan konsep dengan menggunakan analisis bahasa.Bilamana dikaji perkembangan filsafat setidaknya terdapat empat fase perkembangan pemikiran filsafat, sejak munculnya pemikiran yang pertama sampai dewasa ini, yang menghiasi panggung sejarah umat manusia.
1. Kosmosentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan alam sebagai objek pemikiran dan wacana filsafat, yaitu yang terjadi pada zaman kuno.
2. Teosentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan Tuhan sebagai pusat pembahasan filsafat, yang berkembang pada zaman abad pertengahan.
3. Antroposentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan manusia sebagai objek wacana filsafat, hal ini terjadi dan berkembang pada zaman modern.
4. Logosentris yaitu fase perkembangan pemikiran filsafat yang meletakkan bahasa sebagai pusat perhatian pemikiran filsafat dan hal ini berkembang setelah abad modern sampai sekarang. Fase perkembangan terakhir ini ditandai dengan aksentuasi filosof pada bahasa yang disadarinya bahwa bahasa merupakan wahana pengungkapan peradaban manusia yang sangat kompleks itu.
Mengenai filsafat analitika bahasa,pada dasarnya perkembangan filsafat ini meliputi tiga aliran pokok yaitu atomisme logis, positivisme logis, dan filsafat bahasa biasa..
Perhatian filsafat terhadap bahasa sebenarnya telah berlangsung lama, bahkan sejak zaman Prasokrates, yaitu ketika Herakleitos membahas tentang hakikat segala sesuatu termasuk alam semesta. Bahkan Aristoteles menyebutnya sebagai “para fisiologis kuno” atau ‘hoi arkhaioi physiologoi’. Seluruh minat herakleitos terpusatkan pada dunia fenomenal. Ia tidak setuju bahwa di atas dunia fenomenal ini, terdapat ‘dunia menjadi’ namun ada dunia yang lebih tinggi, dunia idea, dunia kekal yang berisi ‘ada’ yang murni. Meskipun begitu ia tidak puas hanya dengan fakta perubahan saja, ia mencari prinsip perubahan. Menurut Herakleitos, prinsip perubahan ini tidak dapat ditemukan dalam benda material. Petunjuk ke arah tafsiran yang tepat terhadap tata kosmis bukanlah dunia material melainkan dunia manusiawi, dan dalam dunia manusiawi ini kemampuan bicara menduduki tempat yang sentral. Dalam pengertian inilah maka medium Herakleitos bahwa “kata” (logos) bukan semata-mata gejala antropologi. Kata tidak hanya mengandung kebenaran universal. Bahkan Herakleitos mengatakan “jangan dengar aku”, “dengarlah pada sang kata dan akuilah bahwa semua benda itu satu”. Demikian sehingga pemikiran Yunani awal bergeser dari filsafat alam kepada filsafat bahasa yang diletakkan sebagai objek kajian filsafat..
Filsafat bahasa mulai berkembang pada abad ke XX dengan telaah analitik filosofi Wittgenstein tentang bahasa. Noam Chomskylah yang pertama-tama mengangkat bahasa sebagai disiplin linguistik. Grice dan Quinelah yang mengangkat meaning sebagai intensionalitas si pembicara dan meaning dalam konteks kejadiannya. Davidson lebih lanjut mengetengahkan tentang struktur semantik, untuk memahami bahasa, termasuk unsur-unsurnya dan mengembangkan tentang interpretasi yang dapat berbeda antara si pembicara dan yang dibicarakan. Frege lebih lanjut mengembangkan konsep tentang referensi. Ekspresi bahasa bukan hanya representasi of mine, tetapi juga mengandung referensi, yaitu hal-hal yang relevan dengan pernyataan yang ditampilkan.
Filsafat abad modern memberikan dasar-dasar yang kokoh terhadap timbulnya filsafat analitika bahasa. Peranan rasio, indra, dan intuisi manusia sangat menentukan dalam pengenalan pengetahuan manusia. Oleh karena itu aliran rasionalisme yang menekankan otoritas akal, aliran empirisme yang menekankan peranan pengalaman indra dalam pengenalan pengetahuan manusia serta aliran imaterialisme dan kritisme Immanuel Kant menjadi sangat penting sekali pengaruhnya terhadap tumbuhnya filsafat analitika bahasa terutama dalam pengungkapan realitas segala sesuatu melalui ungkapan bahasa.
B. Filsafat Sebagai Analisis Bahasa
Bahasa adalah alat yang paling utama bagi seorang filsuf serta merupakan media untuk analisis dan refleksi. Oleh karena itu bahasa sangat sensitif terhadap kekaburan serta kelemahan-kelemahan lainnya, sehingga banyak filsuf menaruh perhatian untuk menyempurnakannya. Hal ini terutama dengan timbulnya aliran filsafat analitika bahasa yang memandang bahwa problema-problema filosofis akan menjadi terjelaskan menekala menggunakan analisis terminologi gramatika, bahkan kalangan filsuf analitika bahasa menyadari banyak ungkapan-ungkapan filsafat yang sama sekali tidak menjelaskan apa-apa. Berdasarkan hal tersebut maka banyak kalangan filsuf terutama para tokoh filsafat analitika bahasa menyatakan bahwa tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep. Sebagaimana kita ketahui misalnya banyak filsuf yang mengetengahkan konsepnya melalui analitika bahasa, misalnya ‘apakah keadilan itu’, ‘apakah yang dimaksud dengan kebenaran’, ‘apakah yang dimaksud dengan kebaikan’ dan lain sebagainya. Kegiatan yang semacam itu merupakan suatu permulaan dari suatu usaha pokok filsafat untuk mendapatkan kebenaran hakiki tentang segala sesuatu termasuk manusia sendiri.
Namun demikian kegiatan para filsuf semacam itu dewasa ini dianggap tidak mencukupi karena tidak didukung dengan pengamatan dan pembuktian yang memadai untuk mendapatkan kesimpulan yang adekuat. Oleh karena itu untuk menjawab pertanyaan yang fundamental tentang hakikat segala sesuatu para filsuf berupaya untuk memberikan suatu argumentasi yang didukung dengan analisis bahasa yang memenuhi syarat-syarat logis. Untuk itu terdapat tiga cara untuk memformulasikan problema filsafat secara analitis misalnya masalah sebab-akibat, kebenaran, pengetahuan ataupun kewajiban moral, misalnya tentang hakikat pengetahuan sebagai berikut:
(1) Kita menyelidiki pengetahuan itu.
(2) Kita menganalisis konsep pengetahuan itu.
(3) Kita ingin membuat eksplisit kebenaran pengetahuan itu.
Untuk pemecahan yang pertama mustahil dapat dilaksanakan karena seakan-akan filsafat itu mencari dan meneliti suatu entitas (keberadaan) sesuatu yang disebut pengetahuan berada bebas dari pikiran manusia. Untuk yang kedua itu juga menyesatkan karena seakan-akan tugas filsafat untuk memeriksa, meneliti dan mengamati sesuatu yang disebut pengetahuan. Kemudian menentukan bagian-bagiannya, menentukan hubungan-hubungannya hingga menjadi suatu konsep yang disebut pengetahuan.
Kiranya hanya kemungkinan alternatif yang ketiga saja yang layak dilakukan oleh filsafat, yaitu bahwa tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep tersebut senantiasa melalui bahasa. Memang filsafat sebagai analisis konsep-konsep tersebut senantiasa berkaitan dengan bahasa yang berkaitan dengan makna (semantik) dan tidak turut campur dalam bahasa itu sendiri sebagai suatu realitas.
Problem yang muncul berkaitan dengan filsafat sebagai analisis konsep-konsep yaitu kekurangan dan keterbatasan bahasa sebagaimana dihadapi oleh disiplin ilmu-ilmu lainnya. Konsep-konsep filsafat senantiasa diartikulasikan secara verbal sehingga dengan demikian maka bahasa memiliki peranan yang netral. Dalam pengertian inilah menurut Alston bahwa bahasa merupakan laboraturium filsafat untuk menguji dan menjelaskan konsep-konsep dan problema-problema filosofis bahkan untuk menentukan kebenaran pikirannya.
Kedudukan filsafat sebagai analisis konsep-konsep dan mengingat peranan bahasa yang bersifat sentral dalam mengungkapkan secara verbal pandangan-pandangan dan pemikiran filosofis maka timbullah suatu masalah yaitu keterbatasan bahasa sehari-hari yang dalam masalah tertentu tidak mampu mengungkapkan konsep filosofis. Menanggapi peranan bahasa sehari-hari dalam kegiatan filsafat maka terdapat dua kelompok filsuf yang memiliki pandangan yang berbeda.
(1) Terdapat kelompok filsuf yang beranggapan bahwa sebenarnya bahasa biasa (ordinary language) yaitu bahasa yang sehari-hari digunakan dalam komunikasi manusia itu telah cukup untuk maksud-maksud filsafat atau dengan lain perkataan bahasa sehari-hari itu memadai sebagai sarana pengungkapan konsep-konsep filsafat. Namun demikian harus diakui bahwa untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan bahasa sehari-hari bahasa filsafat harus diberikan suatu pengertian yang khusus atau harus memberikan suatu penjelasan terhadap penyimpangan tersebut. Menurut pandangan ini (terutama aliran filsafat bahasa biasanya Wittgenstein II) masalah-masalah filsafat itu timbul justru karena adanya penyimpangan-penyimpangan penggunaan bahasa biasanya oleh para filsuf dalam berfilsafat, sehingga timbullah kekacauan dalam filsafat dan penyimpangan itu tanpa suatu penjelasan agar dapat dimengerti (Poerwowidagdo, tanpa tahun: 10). Misalnya kita sering mendengarkan suatu ungkapan filosofis yang menyatakan bahwa suatu ungkapan itu secara metafisis memiliki makna yang dlam tanpa memberikan alasan yang memadai agar memiliki suatu dasar kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka menurut pandangan yang pertama ini tugas filsuf dalam memberikan semacam terapi untuk penyembuhan dalam kelemahan penggunaan bahasa filsafat tersebut.
(2) Sebaliknya terdapat kelompok filsuf yang menganggap bahwa bahasa sehari-hari itu tidak cukup untuk mengungkapkan masalah-masalah dan konsep-konsep filsafat. Masalah-masalah filsafat itu justru timbul karena bahasa biasa itu tidak cukup untuk tujuan analisis filosofis Karena bahasa sehari-hari memiliki banyak kelemahan dan demi kejelasan kebenaran konsep-konsep filosofis maka perlu dilakukan suatu pembaharuan bahasa, yaitu perlu diwujudkan suatu bahasa yang sarat dengan logika sehingga ungkapan-ungkapan bahasa dalam filsafat kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan. Kelompok filsuf ini antara lain Leibniz, Ryle, Rudolf Carnap, Bertrand Russell dan tokoh lainnya. Menurut kelompok filsuf ini tugas filsafat yaitu membangun dan mengembangkan bahasa yang dapat mengatasi kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam bahasa sehari-hari itu. Dengan suatu kerangka bahasa yang sedemikian itu kita dapat memahami dan mengerti tentang hakikat fakta-fakta atau kenyataan-kenyataan dunia. Maka yang menjadi perhatian kita yang terpenting adalah usaha bahwa perhatian filsafat itu memang berkenaan dengan konsepsi umum tentang bahasa serta makna yang terkandung di dalamnya. Demikianlah kiranya perhatian filsafat terhadap bahasa dan hal ini mengingat tugas utama filsafat adalah analisi konsep-konsep dan oleh karena ungkapan filosofis itu bersifat verbal maka upaya untuk membuat bahasa itu memadai dalam berfilsafat jadi sangat penting sekali.
C. Atomisme Logis Betran Russel
Atomisme logis merupakan salah satu teori yang ada dalam aliran filsafat analitik bahasa. Istilah ini dinisbatkan kepada dua filosof Anglo-Saxon, yaitu Bertran Russell dan Ludwig Wittgenstein (1899-1951). Bertran Russel adalah seorang sarjana yang lahir dari lingkungan Universitas Cambridge Inggris. Ia banyak menulis tentang berbagai persoalan diantaranya tentang filsafat, politik, pendidikan, sejarah dan agama.
Konsep atomisme logis yang dikembangkan oleh Russell dan wittgenstein sebenarnya terdapat perbadaan antara keduanya. Akan tetapi jika dilihat dari sudut pandang pendekatannya antara keduanya terdapat kesamaan yang sangat signifikan. Menurut Russell untuk memahami atomisme logis kita harus memahami tujuan filsafat terlebih dahulu yang terdiri dari tiga tujuan yaitu:
a. Filsafat memiliki tujuan untuk mengembalikan seluruh ilmu pengetahuan kepada bahasa yang paling padat dan sederhana. Menurutnya tugas filsafat yaitu merumuskan pandangan yang mendasari semua ilmu khusus, yaitu dengan jelas merumuskan suatu sintesis.
b. Menghubungkan logika dan matematika. Russel menghendaki dalam dunia pendidikan antara jurusan ilmu pasti (eksak) dan jurusan sastra tidak dipisahkan. Karena menurutnya logika dan tata bahasa tidak hanya penting bagi bahasa, melainkan juga merupakan dasar bagi matematika.
c. Analisis bahasa. Tujuan ketiga ini pada dasarnya merupakan titik puncak dari tujuan filsafat Russell, yaitu untuk mencari pengetahuan yang benar.
Ketiga tujuan filsafat Russell tersebut sangat mempengaruhi seluruh pemikiran filsafatnya, termasuk mempengaruhi konsep atomisme logis. Juga merefleksi terhadap landasannya, yaitu bahasa logika dan corak logika, teori isomorfi (teori kesepadanan) dan proposisi atomik. Ketiga landasan filsafat ini merupakan arah prinsipil untuk memahami filsafat atomisme logis.
Bahasa logika menurut Russell akan sangat membantu terhadap aktivitas analisis bahasa. Sebab, ia berkeyakinan bahwa teknik analisis bahasa yang didasarkan pada bahasa logika yang mampu melukiskan hubungan antara struktur bahasa dan struktur realitas.
Selanjutnya, kata Russell tugas dari filsafat pada dasarnya merupakan analisis logis yang diikuti sintesis logis tentang fakta-fakta. Yang dimaksud dengan analisis logis tentang fakta adalah ialah pemikiran yang didasarkan pada metode deduksi untuk mendapatkan argumentasi apriori, yaitu kebenaran yang sudah diketahui kebenarannya sebelum dilakukan suatu percobaan atau penelitian. Sedangkan sintesis logis yaitu suatu proses menentukan makna pernyataan atas dasar empirik yang dengan sendirinya akan melahirkan pengetahuan yang baru. Dalam filsafat Kant pengetahuan ini disebut dengan pengetahuan sintesis a-posteriori.
Russell menerapkan teknik analisis bahasa untuk memecahkan problema filsafat. Akan tetapi ia lebih mendahulukan analosis logis daripada sintesis logis. Karena, teori yang hanya didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat empiris tidak akan bisa menjangkau pengetahuan yang universal. Sebab, kebenaran yang bersifat logis dan matematis yang diungkapkan melalui analisis logis akan meyakinkan kita untuk mengakui keberadaan sifat-sifat yang universa. Berdasarkan uraian tersebut, tampak jelas bahwa Russell hendak menyusun atomisme logis dengan berpijak pada bahasa logika. Dengan bahasa logika itulah ia melakukan kerja analisis bahasa bagi bahasa filsafat untuk memperoleh apa yang disebutnya sebagai atom-atom logis atau proposisi atomis.
Russell memandang proposisi sebagai suatu simbol-simbol yang rumit yang bisa benar atau salah, dan dia juga menegaskan bahwa di dunia realita ini yang menentukan proposisiitu benar atau salah adalah fakta. Proposisi itu terdiri dari simbol-simbol atau sebutan-sebutan (nama) yang simpel. Suatu sebutan mempunyai makna jika merujuk pada objek. Namun demikian ini tidak berarti bahwa semua nama yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari adalah simbol-simbol dalam pengertian ini. Hal ini karena struktur bahasa keseharian bisa jadi salah dan ini merupakan salah satu tugas dari bahasanya. Russell meminta teorinya tentang deskripsi merupakan pelaksanaan paradigmatis dari tugas ini. Maksudnya bahwa frase yang bersifat deskriptif merupakan simbol-simbol yang tidak sempurna yang kegunaannya tidak bergantung pada suatu refrensi tertentu dan karena itu implikasi ontologis yang salah dari bahasa sehari-hari tidak diperdebatkan. Dengan cara ini, Russell mengangkat maxim (dalil) metodologi bahwa melalui analisis bahasayang logis seseorang bisa mengungkapkan simbol-simbol yang benar-benar sederhana dengan mana dunia dibangun.
D. Atomisme Logis Wittgenstein
Wittgenstein adalah seorang filosof asal Wina Austria yang merupakan sahabat dan sekaligus murid Russell yang sangat cemerlang. Akan tetapi dalam berbagai hal Russell mengakuinya sebagai murid dari Wittgenstein. Dari sini kita dapat melihat bahwa hubungan antara Russell dan Wittgenstein tidak hanya memiliki hubungan yang erat dalam bidang intelektual saja, akan tetapi di luar itu juga.
Pada awalnya filsafat wittgenstein banyak hal yang mirip dengan logika atomisme Russell. Tulisan-tulisan keduanya sama-sama berasumsi bahwa analisis yang logis dari bahasa harus menjelaskan unsur pokok atom dari dunia ini. Namun, wittsgenstein tidak mencurahkan perhatiannya terhadap hakikat atom dan batas pengetahuan kita tentang atom sebagai unsur pokok, melainkan lebih mencurahkan pada hakekat dan batas-batas bahasa itu sendiri.
Ciri-ciri khas proposisi sebagai gambar realitas yang logis yakni dapat melahirkan batasan yang sempit pada wilayah wacana yang signifikan. Batasan itu ditandai oleh dua sikap ekstrim yang berhadap-hadapan, dan diantara dua ekstrim ini terdapat statemen-statemen yang sejati, yang semuanya memfungsikan proposisi pokoknya untuk kebenaran. Jika proposisi ini hanya menggambarkan gambar realitas empirik, maka persoalan-persoalan kehidupan lainnya seperti etika, tata nilai, tentang makna dan tujuan hidup menjadi terusir kaluar dari wilayah wacana yang signifikan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Filsafat analitik adalah suatu gerakan filosof Abad ke 20, khususnya di Inggris dan Amerika Serikat yang memusatkan perhatiannya pada bahasa dan mencoba menganalisa pernyataan-pernyataan (konsep-konsep, ungkapan-ungkapan kebahasaan atau bentuk-bentuk yang logis) supaya menemukan bentuk-bentuk yang paling logis dan singkat yang cocok dengan fakta-fakta atau makna-makna yang disajikan.
Perhatian filsafat terhadap bahasa sebenarnya telah berlangsung lama, bahkan sejak zaman Pra Sokrates, akan tetapi filsafat bahasa tersebut menjadi populer pada abad ke XX dengan telaah analitik filosofik Wittgenstein tentang bahasa.
Adapun tokoh-tokoh yang melahirkan filsafat analitik sebagai berikut: Gottlob Frege, Beltrand Russel dan Ludwig Wittgeinsten.
Aliran-aliran analitik bahasa yang pertama adalah atomisme logis, yang kedua positivisme logis dan yang ketiga filsafat bahasa biasa (the ordinary language philosophy).
3.2 Saran
Mengingat keterbatasan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh penulis, maka untuk mendapat pemahaman yang lebih mendasar lagi, disarankan kepada pembaca untuk membaca literatur-literatur yang telah dilampirkan pada daftar rujukan
Dengan demikian pula diharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca, agar makalah ini dapat memberikan pengetahuan tentang filsafat analitika bahasa.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. 2004. Semantika; Pengantar Studi Tentang Makna. Cet. V; Jakarta: Raja Grafindo persada
Alston, P. William. 1964. Philosophy of Language. London: Prentice Hall Inc.
Cassirer, Ernst. 1962. An Essay on Man. United States Of America: Yake University Press.
Endarmoko, Eko. 2006. Tesaurus Bahasa Indonesia. Cet. I; Jakarta: PT Gramedia.
Kaelan. 2006. Perkembangan Filsafat Analitika Bahasa dan Pengaruhnya Terhadap Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Paradigma.
Kaelan. 2009. Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika. Yogyakarta: Paradigama.
Hartoko, Dick 2002 Kamus Populer Filsafat . Cet. III; PT. Raja Grafindo Persada.
Hidayat, Asaep Ahmad. 2009.Filsafat Bahasa Mengungkapkan Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Mudhofir, Ali. 1996. Kamus Teori dan Aliran Dalam Filsafat dan Teologi (Cet I; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Muhadj, Noeng. 2001. Filsafat Ilmu Positivisme, Post positivisme, dan Post Modernisme. Yogyakarta: Rakesarasin.
Poerwowidagdo, Yudowibowo. Tanpa tahun. Filsafat Bahasa. Suatu diktat materi kuliah.
Rasjidi, H. M. 1984. Persoalan-Persoalan Filsafat. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Russell, Bertrand. 1974. History of Western Philosophy. Oxford: Alden Press.
Thomson, John B. 2003. Filsafat Bahasa dan Hermeunitik Untuk Penelitian Sosial. Surabaya: Visi Humanika.

Label:
Makalah
Posting Komentar